BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Bukankah Allah
SWT. Sangat menganjurkan ummatnya untuk senantiasa berfikir. Banyak ayat
tentang berfikir ini dengan kata-kata ‘apal
ta’qilun, ‘apala tatafakkarun’ , la ya’lamun’, ‘Ulil Albab’ dan lain-lain
yang kesemuanya mengajak manusia untuk berfikir. Secara kodrati mansusia
dianugrahi akal, daya fikir, yang tidak diperoleh makhluk lain. Akal ini
seyogyanya dapat dipergunakan semaksimal mungkdin untuk kemampuan berfikir
tersebut. Menurut M. Ngalim Purwanto (1990: 43) berfikir adalah daya yang
paling utama dan merupakan cirri khas yang membedakan antara manusia dengan
hewan.
Seorang
intelektual adalah orang yang pemikirannya menjaga pemikirannya sendiri. Oleh
karena itu ilmu dan pengetahuan diantaranya LOGIKA harus dipahami dengan sunguh-sungguh, baru bias menjadi
kebijaksanaan dalam menjaga pemikirannya sendiri dengan benar dan jujur untuk
mencapai sukses.
Logika adalah
bidang pengetahuan yang mempelajari tentang asas, aturan, dan prosedur
penalaran yang benar. Dengan istilah lain logika sebagai jalan atau cara untuk
memperoleh pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan ketentuan formal untuk
memperoleh pengetahuan yang benar. Dalam filsafat ada pemahaman bahwa
pengetahuan yang tepat itu belum tentu benar, tetapi pengetahuan yang benar itu
sudah pasti tepat.
Dalam sejarah
perkembangannya, ilmu logika mengenal dua istilah, yaitu logika tradisional dan
logika modern. Logika tradisional adalah logika yang menekankan pada analisis
bahasa, bercorak deduktif, dan secara historis memang temuan filosof klasik.
Sedangkan logika modern merupakan modifikasi dari revisi oleh filosof modern,
bercorak induktif dan diperkaya dengan simbol-simbol, termasuk simbol
matematis.
Perlu dicatat
bahwa logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai pada
kebenaran karena kepercayaan-kepercayaan yang menjadi titik tolak kita
kadang-kadang salah, namun dengan mengikuti prinsip-prinsip penalaran yang
tepat kita tidak perlu mengulang kesalah-kesalahan yang pernah kita lakukan.
Dengan demikian timbullah suatu ilmu yang disebut “LOGIKA”.
B.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui konsep tentang logika
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian logika.
b. Memahami pengujian jalan pemikiran dalam
logika.
c. Mengetahui induksi dan deduksi dalam logika.
C.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Sampul Depan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
C. Sistematika Penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Logika secara umum
B. Pengertian Logika secara khusu
Bab III Pembahasan
A. Kegunaan Logika
B. Pengujian jalan pemikiran
C. Induksi dan Deduksi
Bab IV Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
PENGERTIAN
LOGIKA SECARA UMUM
Istilah logika
berasal dari bahasa Yunani logos artinya sabda, pikiran, ilmu. Secara
etimologis, logika adalah ilmu tentang pikiran atau ilmu menalar. Sejak zaman
dahulu, logika diajarkan di sekolah dan universitas sebagai pegangan dan bekal
dalam usaha menggali ilmu serta meningkatkan kemandirian intelektual dan rohani
seseorang (Ranjabar, 2015: 2).
Istilah logika
diambil darai bahasa Yunani ‘logikos’,
yang berarti ‘mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan
akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan, atau berkenaan dengan
bahasa (Jan Hendrik Rapar, 2005: 52). Dalam bahasa latin logika disebut dengan
‘logos’ berarti perkataan atau sabda
(Mundiri, 2003:8) orang Arab biasanya menyebut logika ini dengan kata ‘mantiq’ yang diambil dari kata ‘nataqa’. Kata ‘mantiq’ lazim digunakan dengan berkata atau berucap. Istilah ‘mantiq’ juga diartikan sebagai hokum
yang memelihara hati dari kesalah dalam berfikir (Susanto, 2016: 144).
Poedjawijatna
(1966:15) menjelaskan bahwa logika merupakan kajian filsafat yang mengkaji
manusia yang biasanya dikenal dengan filsafat budi, dimana budi disini adalah
akal sebagai alat penyelidikan dalam mengambil suatu keputusan (Susanto, 2016:
144).
Logika adalah
bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan, dan tatacara
penalaran yang betul (correct rea soning).
Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional (episteme). Oleh Aristoteles
logika disebutnya sebagai analitika, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli
Abad Tengah yang disebut logika tradisional. Mulai akhir abad ke- 19, oleh
George Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern sehingga
dewasa ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak
lagi semata-mata bersifat filsafati, tetapi bercorak teknis dan ilmiah. Logika
modern saat ini berkembang menjadi logika perlambang, logika kewajiban, logika
ganda-nilai, logika intuistik, dan berbagai system logika tak baku (Putra,
2010).
B.
PENGERTIAN
LOGIKA SECARA KHUSUS
Dengan
memperhatikan definisi-definisi logika yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
diatas, maka pada umumnya memiliki persamaan, bahwa yang disebut dengan logika
adalah cabang filsafat yang membahas tentang asas-asas, aturan-aturan, dan
prosedur dalam mencapai pengetahuan yang benar, yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional (Susanto, 2016: 145).
Berdasarkan
uraian diatas, logika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang metode-metode
dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan penalaran yang tepat dari
penalaran yang tidak tepat. Konsep kunci dalam dalam definisi ini adalah
penalaran yang tepat atau penalaran yang valid. Ketetapan atau validitas tidak
identik dengan kebenaran. Logika hanya menaruh perhatian pada kepentingan logis
(relasi konsekuensional) yang ada antara konklusi (kesimpulan) dan
premis-premis yang ada (Ranjabar, 2015: 4).
Berdasarkan
beberapa define diatas dapat disimpulkan bahwa logika adalah ilmu dan kecakapan
menalar, berfikir dengan tepat (the
science art of correct thinking) (Hidayat, 2013: 118)
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
KEGUNAAN
LOGIKA
1.
Kegunaan
Logika
a.
membantu
setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis,
lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b.
meningkatkan
kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c.
menambah
kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
d.
memaksa
dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas
sistematis
e.
meningkatkan
cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan
serta kesesatan.
f.
mampu
melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
g.
apabila
sudah mampu berpikir rasional,kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana
tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang (Wafik,
2015).
2.
Sejarah
Singkat Logika
Dalam
kesempatan seperti ini, tidak pada tempatnya apabila kita membicarakan sejarah
logika secara panjang lebar. Karenanya akan dibuat suatu ringkasan singkat,
sekalipun disadari bahaya yang melekat pada ringkasan.
Orang
yang secara umum diakui sebagai bapak logika adalah Aristoteles (384-322SM).
Para pendahulu Aristoteles telah berusaha mengembangkan seni
mengkonstruksikan argument-argumen
persuasif dan teknik-teknik untuk menolak argument-argumen orang lain. Namun
Aristoteles adalah orang yang pertama yang menemukan criteria sistematis untuk
menganalisis dan mengevalusi argument-argumen. Logika Aristoteles disebut
logika silogistik. Elemen-elemen fundamental dalam logika ini adalah term-term,
dan argument-argumen dievaluasi sebgai baik atau buruk yang tergantung pada
bagaimana term-trem itu disusun dalam argumen. Sebagai tambahan pada
pengembangan logika silogistik, Aristoteles mendaftar sejumlah kesesatan
informal.
C.
PENGUJIAN
JALAN PEMIKIRAN
Berfikir secara
filsafat salah satunya adalah sinoptif, yaitu berfikir menyeluruh dan
bersama-sama. Artinya berfikir menyeluruh sama dengan berfikir secara
komprehensif.
Misalnya,
apabila kita menghadapi masalah seperti “kenakalan anak” kenakalan anak akan
terus menjadi masalah sepanjang masa khususnya para orang tua. Untuk
menaggulangi kenakalan anak, maka masalah tersebut harus dilihat secara
filsafat, yaitu kenakalan anak harus dilihat dari semua aspek ilmu yang
terkait.
Misalnya,
kenakalan anak dilihat dari sudut ilmu agama, ilmu ekonomi, ilmu
jiwa/psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Menurut ilmu ekonomi kenakalan anak
disebabkan oleh faktor ekonomi, biasanya kenakalan berasal dari anak-anak yang
tingkat ekonominya rendah. Jarang kita temui anak-anak dari orang kaya yang
nakal, mungkin pola kenakalanya berbeda.
Menurut ilmu
agama, kenakalan anak lebih disebabkan karena faktor keberagamaan kurang antara
kehidupan lahir dan batin tidak seimbang, sehingga tidak mampu membedakan
antara teman yang baik dan buruk kemudian terpengaruh lingkungan buruk.
Menurut ilmu
jiwa kenakalan anak dianggapnya “lumrah” asal tidak merusak (destruktif), karena anak nakal (konstruktif) sebetulnya anak yang
semangat, kreatif dan ergik, dan sebagainya. Jadi, cara berfikir filsafat itu
adalah berfikir kritis, analisis, dan dilihat dari berbagai aspek. Begitu juga
kenakalan orang tua juga harus dilihat (Achmadi,
2012).
1.
Cara
Berfikir Logika (Menalar)
Penalaran
adalah suatu proses berfikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar sebuah
pengetahuan yang berdasarkan penalran itu mempunyai bobot kebenaran, maka
proses berfikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode
tertentu. Dalam penalaran proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan
disebut premis, sedangkan kesimpulan disebut konklusi (Susanto, 2016: 148).
Sasaran
atau bidang logika yaitu kegiatan pemikiran atau akal budi manusia. Berfikir
merupakan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah kita terima
melalui panca indra dan ditunjukkan untuk mencapai suatu kebenaran. Berfikir
dengan tepat merupakan jalan pikiran yang sesuai dengan patokan-patokan dalam
logika, yang disebut “logis” (Hidayat, 2013: 117).
Guna
menguji suatu pemikiran, paling sedikit terdapat empat pertanyaan yang
diajukan:
a.
Apa yang hendak ditegaskan, atau apa
pokok pertanyaan (statetment) yang
diajukan? Yang selanjutnya disebut kesimpulan.
b.
Atas dasar apa orang sampai dikesimpulan
tersebut. apa titik pangkalnya? Apa alas an-alasanmya? Disebut premis-premis.
c.
Bagaimana jalan pemikiran yang
mengaitkan alsan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana
langkah-langkhanya?
d.
Apakah kesimpulan atau penjelasan itu
benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar?
Agar
suatu pemikiran dan penalar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, terdapat
tiga syarat pokok:
a.
Pemikiran harus berpangkal dari
kenyataan atau titik pangkal harus benar.
b.
Alas an-alasan yang diajukan harus tepat
dan kuat.
c.
Jalan pikiran harus logis atau lurus
(sah).
Sebelas pedoman
penalaran:
a.
Pikiran sendiri. Jangan pernag begitu
saja menerima apa yang dikatakan.
b.
Pikirkan dulu sebelum bertindak.
c.
Pikirkan secara objektif. Waspadalah
terhadap prasngka-prasangka sendiri. “No
wishful thinking” (menganggap benar apa yang disukai)
d.
Pikirlah dua kali. Jangan tergesa-gesa
mengambil kesimpulan atau mengemukakan pendapat seakan-akan merupakan kebenaran
mutlak.
e.
Pikirlah untuk jangka panjang. Lihat
jauh kedepan.
f.
Bersikap terbuka. Mungkin suatu pendapat
perlu direvisi atau ditinggalkan sama sekali atas dasar informasi terbaru.
g.
Bersikap kritis. Selidiki apa yang
dikemukakan orang lain. Adalah pengecekan, termasuk terhadap pendapat sendiri.
h.
Bersikap optimis carilah segi-segi
positif dalam segala hal juga dalam cara berfikir dan berdiskusi, bersikap
simpatik terhadap orang lain.
i.
Bersikap jujur. Orang dapat belajar
banyak sekali dari kesalahnnya sendiri, asal diadari dan diakui.
j.
Bekerja dan berfikir secara teratur dan
berencana.
k.
Bersikap dialektis. Perkuat pikiran
seseorang yang sudah benar dan kembang (Hidayat, 2013: 118).
2.
Menguji
Suatu Penalaran Atau Suatu Jalan Pemikiran
Tujuan
pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin
pasti. Tetapi dalam kenyataanya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alas
an-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar = sesuai dengan
kenyataan. Jadi, apabila yang dipikirkan itu betul-betul demikian, cocok dengan
realitas. Salah = tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi apabila apa yang
dipikirkan atau dikatakan itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi,
ukuran untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tudak
benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak didengar atau tidak enak
didengar, melainkan cocok atau tidak cocok dengan realisa atau fakta, sutau hal
atau peristiwa dibahas dengan semstinya atau tidak. Misalnya dalam contoh
diatas bila dikatakan: ‘ini terjadi karena longsor’ padahal dalam kenyataanya
tidak terjadi karena longsor, maka ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar,
alias salah (betapapun saya merasa yakin atas ucapan tersebut, ataupun biarpun
dikemukakan dengan penuh keyakinan, dengan suara keras, dan sabagainya). Sebab
fakta atau kenyataannya tidak ada tanah longsor di tempat itu.
Untuk
menguji suatu pemikiran, paling sedikit ada empat pertanyaan yang mesti
diajukan:
a. Apa
yang hendak ditegaskan, atau apa pokok pernyataan (statement) yang diajukan?
Ini selanjutnya kita sebut kesimpulan.
b. Bagaimana
hal itu: atas dasar apa orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu? Apa
titik pangkalnya? Apa alas an-alasanya? Dengan istilah teknis disebut
premis-premisnya).
c. Bagaimana
jalan pemikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang
ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya? Apakah kesimpulan itu ‘sah’ (memang
dapat ditarik dari alas an-alasan itu?)
d. Apakah
kesimpulan atau penjelasan itu benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar?
Sangat mungkin tidak benar?
Sebagai
alat pembantu untuk menguji atau menganalisis suatu pemikiran, maka berguna
sekali menyusun jalan pikirannya (langkah-langkahnya dan hubungan-hubungannya)
dalam bentuk sebuah skema, sehingga tampak jelas mana yang alasan, serta
bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.
Contoh:
Seorang anak tenggelam di sungai,
dalam keadaan pingsan Ia ditarik keluar dari air. Tetangga yang melihatnya
berkata: “Ia tidak bernafas lagi.” Ibunya mulai menangis, “anakku mati!”.
Dirumuskan secara singkat: Dia tidak bernafas lagi. Berarti (jadi) Ia mati”.
Pokok
pernyataan/kesimpulan:
Dia = Mati
Alasan/premis:
Dia = tidak bernafas lagi.
Hubungan:
Karena Ia tidak bernafas lagi, maka
Ia dikatakan mati. Titik pangkal (yang secara implicit menjadi landasan untuk
menarik kesimpulan Dia = sudah mati):
Barang siapa sudah tidak bernafas,
berarti Dia sudah mati (bernafas = tanda hidup, maka bila sudah tidak bernafas
sudah mati). Disusun secara skematis misalnya sebagai berikut:
Tidak
bernafas lagi
Si Filan ---------------------------------------------------Mati
Tidak bernafas lagi = mati
Si
Fulan tidak bernafas
lagi
Si Fulan = Mati
Kesimpulan
Tidak Bernafas = Mati
Si Fulan = Tidak Bernafas
Si Fulan = Mati
Sekarang
dapat dianalisis dengan lebih teliti: Apakah kesimpulan tersebut benar? Apakah
pasti? Kalau tidak, mengapa?apakah titik pangkalnya tepat? Apakah alasannya
cukup kuat? Apakah jalan pikirannya sudah logis?
Alasan
sebenarnya mengapa ‘Dia” dikatakan (=) ‘mati’ (=kesimpulan) ialah hubungan
antara tak bernafas lahi dan mati. Hubungan tersebut tidak diutarakan secara
terang-terangan atau ekplisit, tetapi secara diam-diam atau implisit (tersirat)
merupakan landasan atau dasar mengapa Dia dikatakan sudah mati. Jika kebenaran
kesimpulan disangsikan, maka dipersoalkan bukan apakah benar ‘Dia tidak
bernafas lagi’, melaikan apakah ‘tak bernafas lagi sudah pasti berarti mati’.
Yang sudah mati itu sudah jelas tidak bernafas lagi. Tetapi apakah ‘tidak
bernafas lagi’ itu dengan sendirinya berarti sudah mati? Belum tentu tergantung
pada berbagai hal antara lain berapa lama Ia tidak bernafas lagi!
Hal
ini dengan jelas dapat dilihat dari skema-skema diatas: kesimpulan ‘Dia = mati’
hanya benar, jika benar bahwa tidak bernafas lagi betul-betul berarti mati
(Ranjabar, 2013: 113).
D.
INDUKSI
DAN DEDUKSI
Cara berfikir secara logis ada dua
yaitu:
1.
Induksi
Induksi merupakan
suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual.
Berpikir induktif
adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus
ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi
fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode
berpikir induktif.
Contoh
suatu pemikiran induksi:
a. fakta memperlihatkan : kambing
mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan
binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa:
semua binatang mempunyai mata.
b. kambing mempunyai mata, gajah
mempunyai mata
contoh paragraph induktif
Pada saat ini remaja lebih menyukai
kebudayaan dari jepang seperti cosplay, harajuku style, maid cafe dan lain
sebagainya. Begitupula dengan jenis musik umumnya mereka menyukai j-rock,
j-metal, maupun reff tarian dan kesenian tradisional mulai ditinggalkan dan
beralih mengikuti tren jepang. Penerimaan terhadap bahaya luar yang masuk tidak
disertai dengan pelestarian budaya sendiri. Kesenian dan budaya luar
perlahan-lahan menggeser kesenian dan budaya tradisional (Risma, 2015).
Kesimpulannya
adalah bahwa induksi yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat khusus ke
hal-hal yang bersifat umum, misalnya ketika kita melakukan penelitian dengan
menentukan sejumlah populasi sebagai objek penelitian kemudian dengan
menggunakan teknik sampling yang tertentu kita dapat memperoleh sejumlah
sampel, yang kita observasi adalah sampel tersebut, namun ketika kita
menjelaskan dan membahas objek tersebut kita tidak boleh hanya membahas sampel
saja namun meliputi seluruh populasinya. Persyaratan yang mutlak harus ada.
Adalah bahwa seluruh populasinya adalah bersifat homogen (Hidayat, 2013: 31)
2.
Deduksi
Deduksi adalah
suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
Deduksi berasal
dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari
keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum. Deduksi
adalah cara berpikir yang di tangkap atau di ambil dari pernyataan yang
bersifat umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan
silogismus.
Metode berpikir
deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh suatu pemikiran deduksi :contoh berikut
memakai pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir
yang sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
a. Semua mahluk mempunyai mata (Premis
mayor)
b. Si Polan adalah seorang mahluk
(Premis minor)
c. Jadi si Polan mempunyai mata
(Kesimpulan)
Contoh paragraf deduktif
Masyarakat
Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang
menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status
sosial.
Kebersihan
sangat menjadi masalah di sekolah. Ini terjadi karena banyak murid-murid yang
tidak sadar akan kebersihan. Padahal “kebersihan adalah sebagian dari iman”. (Risma,
2015).
Kesimpulannya
adalah bahwa deduksi yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat khusus,
misalnya adalah dalam memulai suatu penulisan yaitu pada bab pendahuluan kita
akan menjelaskan hal-hal yang bersifat makro menuju ke hal-hal yang sifatnya
mikro, akan memudahkan pembaca dalam memahami apa yang ditulis sebagai
pendahuluan suatu topic pembahasan (Hidayat, 2013: 31).
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Logika adalah
bidang pengetahuan yang mempelajari tentang asas, aturan dan prosedur penalaran
yang benar. Dengan istilah lain logika sebagai jalan atau cara untuk memperoleh
pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan ketentuan formal untuk memperoleh
pengetahuan yang benar. Tetapi pengetahuan yang benar itu pasti tepat.
Logika membantu
orang untuk berfikir lurus, tepat dan teratur. Dengan demikian ia dapat
mempmeroleh kebenaran dan menghindari kesesatan. Dalam semua bidang kehidupan
manusia menggunakan pikirannya. Ia juga mendasarakan tindakan-tindakannya atas
pikiran itu. Semua ilmu pengetahuan hamper tidak dapat dilepaskan dari logika.
Logika juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu filsafat.
Selain itu logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berfikir
sendiri.
B. SARAN
1. Manusia
pada umumnya mendasarkan tindakan-tindakannya atas pemikiran,
pertimbangan-pertimbangan yang objektif. Demikian halnya dengan orang-orang
Indonesia sebagai pribadi dan bangsa. Bangsa Indonesia kiranya membutuhkan
orang-orang yang sungguh berfkir tajam dan dapat berfikir sendiri.
2. Dari
orang-orang seperti inilah dapat diharapakan bimbingan serta pembinaan yang
tepat untuk seluruh bangsa.
3. Kiranya
sudah tiba saatnya untuk memperluas serta mengembangkan studi tentang logika.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. 2012. Filsafat Umum. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Atmadja,
Dewa Gede dkk. 2014. Filsafat Ilmu dari
Pohon Pengetahuan Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani.
Banasuru,
Aripin. 2014. Filsafat dan Filsafat Ilmu
dari Hakekat ke Tanggung Jawab. Bandung: Alfabeta.
Hidayat,
Widi dan Tri Ratnawati. 2013. Filsafat
Ilmu dan Logika Sains. Sidoarjo: Laros.
Putra,
Suhartono dan Harjanto. 2010. Filsafat
Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Pres.
Ranjabar,
Jacobus. 2015. Dasar-Dasar Logika Sebuah
Langkah Awal untuk Masuk ke Berbagai Disiplin Ilmu dan Pengetahuan.
Bandung: Alfabeta.
Susanto.
2016. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
SEMOGA BERMANFAAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar