Kamis, 20 Oktober 2016

LOGIKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Bukankah Allah SWT. Sangat menganjurkan ummatnya untuk senantiasa berfikir. Banyak ayat tentang berfikir ini dengan kata-kata ‘apal ta’qilun, ‘apala tatafakkarun’ , la ya’lamun’, ‘Ulil Albab’ dan lain-lain yang kesemuanya mengajak manusia untuk berfikir. Secara kodrati mansusia dianugrahi akal, daya fikir, yang tidak diperoleh makhluk lain. Akal ini seyogyanya dapat dipergunakan semaksimal mungkdin untuk kemampuan berfikir tersebut. Menurut M. Ngalim Purwanto (1990: 43) berfikir adalah daya yang paling utama dan merupakan cirri khas yang membedakan antara manusia dengan hewan.
Seorang intelektual adalah orang yang pemikirannya menjaga pemikirannya sendiri. Oleh karena itu ilmu dan pengetahuan diantaranya LOGIKA harus dipahami dengan sunguh-sungguh, baru bias menjadi kebijaksanaan dalam menjaga pemikirannya sendiri dengan benar dan jujur untuk mencapai sukses.
Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari tentang asas, aturan, dan prosedur penalaran yang benar. Dengan istilah lain logika sebagai jalan atau cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan ketentuan formal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Dalam filsafat ada pemahaman bahwa pengetahuan yang tepat itu belum tentu benar, tetapi pengetahuan yang benar itu sudah pasti tepat.
Dalam sejarah perkembangannya, ilmu logika mengenal dua istilah, yaitu logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah logika yang menekankan pada analisis bahasa, bercorak deduktif, dan secara historis memang temuan filosof klasik. Sedangkan logika modern merupakan modifikasi dari revisi oleh filosof modern, bercorak induktif dan diperkaya dengan simbol-simbol, termasuk simbol matematis.
Perlu dicatat bahwa logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai pada kebenaran karena kepercayaan-kepercayaan yang menjadi titik tolak kita kadang-kadang salah, namun dengan mengikuti prinsip-prinsip penalaran yang tepat kita tidak perlu mengulang kesalah-kesalahan yang pernah kita lakukan. Dengan demikian timbullah suatu ilmu yang disebut “LOGIKA”.
B.       TUJUAN
1.      Tujuan Umum           
       Mampu mengetahui konsep tentang logika
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui pengertian logika.
b.      Memahami pengujian jalan pemikiran dalam logika.
c.       Mengetahui induksi dan deduksi dalam logika.
C.      SISTEMATIKA PENULISAN
Sampul Depan
Kata Pengantar
Daftar Isi 
Bab I        Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
2.      Tujuan Khusus
C.     Sistematika Penulisan
Bab II       Tinjauan Pustaka
A.      Pengertian Logika secara umum
B.       Pengertian Logika secara khusu
Bab III     Pembahasan
A.      Kegunaan Logika
B.       Pengujian jalan pemikiran
C.       Induksi dan Deduksi
Bab IV     Penutup
A.      Kesimpulan
B.       Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    PENGERTIAN LOGIKA SECARA UMUM
Istilah logika berasal dari bahasa Yunani logos artinya sabda, pikiran, ilmu. Secara etimologis, logika adalah ilmu tentang pikiran atau ilmu menalar. Sejak zaman dahulu, logika diajarkan di sekolah dan universitas sebagai pegangan dan bekal dalam usaha menggali ilmu serta meningkatkan kemandirian intelektual dan rohani seseorang (Ranjabar, 2015: 2).
Istilah logika diambil darai bahasa Yunani ‘logikos’, yang berarti ‘mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan, atau berkenaan dengan bahasa (Jan Hendrik Rapar, 2005: 52). Dalam bahasa latin logika disebut dengan ‘logos’ berarti perkataan atau sabda (Mundiri, 2003:8) orang Arab biasanya menyebut logika ini dengan kata ‘mantiq’ yang diambil dari kata ‘nataqa’. Kata ‘mantiq’ lazim digunakan dengan berkata atau berucap. Istilah ‘mantiq’ juga diartikan sebagai hokum yang memelihara hati dari kesalah dalam berfikir (Susanto, 2016: 144).
Poedjawijatna (1966:15) menjelaskan bahwa logika merupakan kajian filsafat yang mengkaji manusia yang biasanya dikenal dengan filsafat budi, dimana budi disini adalah akal sebagai alat penyelidikan dalam mengambil suatu keputusan (Susanto, 2016: 144).
Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan, dan tatacara penalaran yang betul (correct rea soning). Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional (episteme). Oleh Aristoteles logika disebutnya sebagai analitika, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli Abad Tengah yang disebut logika tradisional. Mulai akhir abad ke- 19, oleh George Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern sehingga dewasa ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi semata-mata bersifat filsafati, tetapi bercorak teknis dan ilmiah. Logika modern saat ini berkembang menjadi logika perlambang, logika kewajiban, logika ganda-nilai, logika intuistik, dan berbagai system logika tak baku (Putra, 2010).
B.     PENGERTIAN LOGIKA SECARA KHUSUS
Dengan memperhatikan definisi-definisi logika yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, maka pada umumnya memiliki persamaan, bahwa yang disebut dengan logika adalah cabang filsafat yang membahas tentang asas-asas, aturan-aturan, dan prosedur dalam mencapai pengetahuan yang benar, yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional (Susanto, 2016: 145).
Berdasarkan uraian diatas, logika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Konsep kunci dalam dalam definisi ini adalah penalaran yang tepat atau penalaran yang valid. Ketetapan atau validitas tidak identik dengan kebenaran. Logika hanya menaruh perhatian pada kepentingan logis (relasi konsekuensional) yang ada antara konklusi (kesimpulan) dan premis-premis yang ada (Ranjabar, 2015: 4).
Berdasarkan beberapa define diatas dapat disimpulkan bahwa logika adalah ilmu dan kecakapan menalar, berfikir dengan tepat (the science art of correct thinking) (Hidayat, 2013: 118)

BAB III
PEMBAHASAN
A.      KEGUNAAN LOGIKA
1.         Kegunaan Logika
a.         membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b.        meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c.         menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
d.        memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
e.         meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta kesesatan.
f.         mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
g.        apabila sudah mampu berpikir rasional,kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang (Wafik, 2015).
2.         Sejarah Singkat Logika
Dalam kesempatan seperti ini, tidak pada tempatnya apabila kita membicarakan sejarah logika secara panjang lebar. Karenanya akan dibuat suatu ringkasan singkat, sekalipun disadari bahaya yang melekat pada ringkasan.
Orang yang secara umum diakui sebagai bapak logika adalah Aristoteles (384-322SM). Para pendahulu Aristoteles telah berusaha mengembangkan seni mengkonstruksikan  argument-argumen persuasif dan teknik-teknik untuk menolak argument-argumen orang lain. Namun Aristoteles adalah orang yang pertama yang menemukan criteria sistematis untuk menganalisis dan mengevalusi argument-argumen. Logika Aristoteles disebut logika silogistik. Elemen-elemen fundamental dalam logika ini adalah term-term, dan argument-argumen dievaluasi sebgai baik atau buruk yang tergantung pada bagaimana term-trem itu disusun dalam argumen. Sebagai tambahan pada pengembangan logika silogistik, Aristoteles mendaftar sejumlah kesesatan informal.
C.    PENGUJIAN JALAN PEMIKIRAN
Berfikir secara filsafat salah satunya adalah sinoptif, yaitu berfikir menyeluruh dan bersama-sama. Artinya berfikir menyeluruh sama dengan berfikir secara komprehensif.
Misalnya, apabila kita menghadapi masalah seperti “kenakalan anak” kenakalan anak akan terus menjadi masalah sepanjang masa khususnya para orang tua. Untuk menaggulangi kenakalan anak, maka masalah tersebut harus dilihat secara filsafat, yaitu kenakalan anak harus dilihat dari semua aspek ilmu yang terkait.
Misalnya, kenakalan anak dilihat dari sudut ilmu agama, ilmu ekonomi, ilmu jiwa/psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Menurut ilmu ekonomi kenakalan anak disebabkan oleh faktor ekonomi, biasanya kenakalan berasal dari anak-anak yang tingkat ekonominya rendah. Jarang kita temui anak-anak dari orang kaya yang nakal, mungkin pola kenakalanya berbeda.
Menurut ilmu agama, kenakalan anak lebih disebabkan karena faktor keberagamaan kurang antara kehidupan lahir dan batin tidak seimbang, sehingga tidak mampu membedakan antara teman yang baik dan buruk kemudian terpengaruh lingkungan buruk.
Menurut ilmu jiwa kenakalan anak dianggapnya “lumrah” asal tidak merusak (destruktif), karena anak nakal (konstruktif) sebetulnya anak yang semangat, kreatif dan ergik, dan sebagainya. Jadi, cara berfikir filsafat itu adalah berfikir kritis, analisis, dan dilihat dari berbagai aspek. Begitu juga kenakalan orang tua juga harus dilihat  (Achmadi, 2012).
1.    Cara Berfikir Logika (Menalar)
Penalaran adalah suatu proses berfikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar sebuah pengetahuan yang berdasarkan penalran itu mempunyai bobot kebenaran, maka proses berfikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode tertentu. Dalam penalaran proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan disebut premis, sedangkan kesimpulan disebut konklusi (Susanto, 2016: 148).
Sasaran atau bidang logika yaitu kegiatan pemikiran atau akal budi manusia. Berfikir merupakan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indra dan ditunjukkan untuk mencapai suatu kebenaran. Berfikir dengan tepat merupakan jalan pikiran yang sesuai dengan patokan-patokan dalam logika, yang disebut “logis” (Hidayat, 2013: 117).
Guna menguji suatu pemikiran, paling sedikit terdapat empat pertanyaan yang diajukan:
a.         Apa yang hendak ditegaskan, atau apa pokok pertanyaan (statetment) yang diajukan? Yang selanjutnya disebut kesimpulan.
b.         Atas dasar apa orang sampai dikesimpulan tersebut. apa titik pangkalnya? Apa alas an-alasanmya? Disebut premis-premis.
c.         Bagaimana jalan pemikiran yang mengaitkan alsan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkhanya?
d.        Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar?
Agar suatu pemikiran dan penalar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, terdapat tiga syarat pokok:
a.         Pemikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkal harus benar.
b.         Alas an-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat.
c.         Jalan pikiran harus logis atau lurus (sah).
Sebelas pedoman penalaran:
a.         Pikiran sendiri. Jangan pernag begitu saja menerima apa yang dikatakan.
b.         Pikirkan dulu sebelum bertindak.
c.         Pikirkan secara objektif. Waspadalah terhadap prasngka-prasangka sendiri. “No wishful thinking” (menganggap benar apa yang disukai)
d.        Pikirlah dua kali. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan atau mengemukakan pendapat seakan-akan merupakan kebenaran mutlak.
e.         Pikirlah untuk jangka panjang. Lihat jauh kedepan.
f.          Bersikap terbuka. Mungkin suatu pendapat perlu direvisi atau ditinggalkan sama sekali atas dasar informasi terbaru.
g.         Bersikap kritis. Selidiki apa yang dikemukakan orang lain. Adalah pengecekan, termasuk terhadap pendapat sendiri.
h.         Bersikap optimis carilah segi-segi positif dalam segala hal juga dalam cara berfikir dan berdiskusi, bersikap simpatik terhadap orang lain.
i.           Bersikap jujur. Orang dapat belajar banyak sekali dari kesalahnnya sendiri, asal diadari dan diakui.
j.           Bekerja dan berfikir secara teratur dan berencana.
k.         Bersikap dialektis. Perkuat pikiran seseorang yang sudah benar dan kembang (Hidayat, 2013: 118).
2.    Menguji Suatu Penalaran Atau Suatu Jalan Pemikiran
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataanya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alas an-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar = sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila yang dipikirkan itu betul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah = tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi, ukuran untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tudak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak didengar atau tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak cocok dengan realisa atau fakta, sutau hal atau peristiwa dibahas dengan semstinya atau tidak. Misalnya dalam contoh diatas bila dikatakan: ‘ini terjadi karena longsor’ padahal dalam kenyataanya tidak terjadi karena longsor, maka ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa yakin atas ucapan tersebut, ataupun biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan, dengan suara keras, dan sabagainya). Sebab fakta atau kenyataannya tidak ada tanah longsor di tempat itu.
Untuk menguji suatu pemikiran, paling sedikit ada empat pertanyaan yang mesti diajukan:
a.       Apa yang hendak ditegaskan, atau apa pokok pernyataan (statement) yang diajukan? Ini selanjutnya kita sebut kesimpulan.
b.      Bagaimana hal itu: atas dasar apa orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu? Apa titik pangkalnya? Apa alas an-alasanya? Dengan istilah teknis disebut premis-premisnya).
c.       Bagaimana jalan pemikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya? Apakah kesimpulan itu ‘sah’ (memang dapat ditarik dari alas an-alasan itu?)
d.      Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar? Sangat mungkin tidak benar?
Sebagai alat pembantu untuk menguji atau menganalisis suatu pemikiran, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya (langkah-langkahnya dan hubungan-hubungannya) dalam bentuk sebuah skema, sehingga tampak jelas mana yang alasan, serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.
Contoh:
Seorang anak tenggelam di sungai, dalam keadaan pingsan Ia ditarik keluar dari air. Tetangga yang melihatnya berkata: “Ia tidak bernafas lagi.” Ibunya mulai menangis, “anakku mati!”. Dirumuskan secara singkat: Dia tidak bernafas lagi. Berarti (jadi) Ia mati”.
Pokok pernyataan/kesimpulan:
Dia = Mati
Alasan/premis:
Dia = tidak bernafas lagi.
Hubungan:
Karena Ia tidak bernafas lagi, maka Ia dikatakan mati. Titik pangkal (yang secara implicit menjadi landasan untuk menarik kesimpulan Dia = sudah mati):
Barang siapa sudah tidak bernafas, berarti Dia sudah mati (bernafas = tanda hidup, maka bila sudah tidak bernafas sudah mati). Disusun secara skematis misalnya sebagai berikut:
                                    Tidak bernafas lagi

Si Filan  ---------------------------------------------------Mati
                             Tidak bernafas lagi = mati
Si Fulan                       tidak bernafas lagi
Si Fulan                                   =                                  Mati
Kesimpulan
Tidak Bernafas = Mati
Si Fulan = Tidak Bernafas
Si Fulan = Mati
Sekarang dapat dianalisis dengan lebih teliti: Apakah kesimpulan tersebut benar? Apakah pasti? Kalau tidak, mengapa?apakah titik pangkalnya tepat? Apakah alasannya cukup kuat? Apakah jalan pikirannya sudah logis?
Alasan sebenarnya mengapa ‘Dia” dikatakan (=) ‘mati’ (=kesimpulan) ialah hubungan antara tak bernafas lahi dan mati. Hubungan tersebut tidak diutarakan secara terang-terangan atau ekplisit, tetapi secara diam-diam atau implisit (tersirat) merupakan landasan atau dasar mengapa Dia dikatakan sudah mati. Jika kebenaran kesimpulan disangsikan, maka dipersoalkan bukan apakah benar ‘Dia tidak bernafas lagi’, melaikan apakah ‘tak bernafas lagi sudah pasti berarti mati’. Yang sudah mati itu sudah jelas tidak bernafas lagi. Tetapi apakah ‘tidak bernafas lagi’ itu dengan sendirinya berarti sudah mati? Belum tentu tergantung pada berbagai hal antara lain berapa lama Ia tidak bernafas lagi!
Hal ini dengan jelas dapat dilihat dari skema-skema diatas: kesimpulan ‘Dia = mati’ hanya benar, jika benar bahwa tidak bernafas lagi betul-betul berarti mati (Ranjabar, 2013: 113).
D.    INDUKSI DAN DEDUKSI
Cara berfikir secara logis ada dua yaitu:
1.    Induksi
Induksi merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Contoh suatu pemikiran induksi:
a.       fakta memperlihatkan : kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
b.      kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata
contoh paragraph induktif
Pada saat ini remaja lebih menyukai kebudayaan dari jepang seperti cosplay, harajuku style, maid cafe dan lain sebagainya. Begitupula dengan jenis musik umumnya mereka menyukai j-rock, j-metal, maupun reff tarian dan kesenian tradisional mulai ditinggalkan dan beralih mengikuti tren jepang. Penerimaan terhadap bahaya luar yang masuk tidak disertai dengan pelestarian budaya sendiri. Kesenian dan budaya luar perlahan-lahan menggeser kesenian dan budaya tradisional (Risma, 2015).
Kesimpulannya adalah bahwa induksi yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum, misalnya ketika kita melakukan penelitian dengan menentukan sejumlah populasi sebagai objek penelitian kemudian dengan menggunakan teknik sampling yang tertentu kita dapat memperoleh sejumlah sampel, yang kita observasi adalah sampel tersebut, namun ketika kita menjelaskan dan membahas objek tersebut kita tidak boleh hanya membahas sampel saja namun meliputi seluruh populasinya. Persyaratan yang mutlak harus ada. Adalah bahwa seluruh populasinya adalah bersifat homogen (Hidayat, 2013: 31)
2.    Deduksi
Deduksi adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum. Deduksi adalah cara berpikir yang di tangkap atau di ambil dari pernyataan yang bersifat umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus.
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh suatu pemikiran deduksi :contoh berikut memakai pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
a.       Semua mahluk mempunyai mata (Premis mayor)
b.      Si Polan adalah seorang mahluk (Premis minor)
c.       Jadi si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Contoh paragraf deduktif
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
Kebersihan sangat menjadi masalah di sekolah. Ini terjadi karena banyak murid-murid yang tidak sadar akan kebersihan. Padahal “kebersihan adalah sebagian dari iman”. (Risma, 2015).
Kesimpulannya adalah bahwa deduksi yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat khusus, misalnya adalah dalam memulai suatu penulisan yaitu pada bab pendahuluan kita akan menjelaskan hal-hal yang bersifat makro menuju ke hal-hal yang sifatnya mikro, akan memudahkan pembaca dalam memahami apa yang ditulis sebagai pendahuluan suatu topic pembahasan (Hidayat, 2013: 31).

BAB IV
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari tentang asas, aturan dan prosedur penalaran yang benar. Dengan istilah lain logika sebagai jalan atau cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan ketentuan formal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Tetapi pengetahuan yang benar itu pasti tepat.
Logika membantu orang untuk berfikir lurus, tepat dan teratur. Dengan demikian ia dapat mempmeroleh kebenaran dan menghindari kesesatan. Dalam semua bidang kehidupan manusia menggunakan pikirannya. Ia juga mendasarakan tindakan-tindakannya atas pikiran itu. Semua ilmu pengetahuan hamper tidak dapat dilepaskan dari logika. Logika juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu filsafat. Selain itu logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berfikir sendiri.
B.  SARAN
1.      Manusia pada umumnya mendasarkan tindakan-tindakannya atas pemikiran, pertimbangan-pertimbangan yang objektif. Demikian halnya dengan orang-orang Indonesia sebagai pribadi dan bangsa. Bangsa Indonesia kiranya membutuhkan orang-orang yang sungguh berfkir tajam dan dapat berfikir sendiri.
2.      Dari orang-orang seperti inilah dapat diharapakan bimbingan serta pembinaan yang tepat untuk seluruh bangsa.
3.      Kiranya sudah tiba saatnya untuk memperluas serta mengembangkan studi tentang logika.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2012. Filsafat Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Atmadja, Dewa Gede dkk. 2014. Filsafat Ilmu dari Pohon Pengetahuan Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani.

Banasuru, Aripin. 2014. Filsafat dan Filsafat Ilmu dari Hakekat ke Tanggung Jawab. Bandung: Alfabeta.

Hidayat, Widi dan Tri Ratnawati. 2013. Filsafat Ilmu dan Logika Sains. Sidoarjo: Laros.

Putra, Suhartono dan Harjanto. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Pres.

Ranjabar, Jacobus. 2015. Dasar-Dasar Logika Sebuah Langkah Awal untuk Masuk ke Berbagai Disiplin Ilmu dan Pengetahuan. Bandung: Alfabeta.

Susanto. 2016. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.


SEMOGA BERMANFAAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar