Minggu, 11 Februari 2018

POLICY DIRECTIVE FOR CLINICAL GOVERNANCE FOR MIDWIFERY MODEL



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan hal tersebut merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kemenkes RI 2014).
Untuk mewujudkan hal tersebut, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat, dengan pendekatan promotif, preventif, rehabilitative yang diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Untuk mendukung upaya kesehatan maka diperlukan Tenaga Kesehatan yang bertugas melakukan kegiatan pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya. Bidan adalah salah satu kategori tenaga kesehatang yang dapat berperan serta dalam upaya mewujudkan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal khususnya kesejahteraan ibu dan anak (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kemenkes RI 2014).
Konsep dasar kebidanan menegaskan keunikan bidan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga pada usia subur yaitu bekerja sama dengan perempuan dalam memelihara diri sendiri dan meningkatkan kesehatan bagi diri dan keluarganya, menghargai martabat manusia dan memperlakukan perempuan sebagai perempuan seutuhnya sesuai hak asasi, membela dan memberdayakan kaum perempuan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, kepekaan terhadap budaya dan bekerja sama dengan perempuan dan petugas kesehatan untuk mengatasi praktik-praktik budaya yang merugikan kaum perempuan, memusatkan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, memandang kehamilan sebagai suatu peristiwa kehidupan normal (Sari, 2012).
Sejarah menunjukkan bahwa kebidanan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban ummat manusia. Bidan lahir sebagai perempuan terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu yang melahirkan. Profesi ini telah mendudukkan peran dan posisi seorang bidan menjadi terhormat di masyarakat karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan semangat dan membesarkan hati ibu (Hidayat, 2009).
Untuk mempercepat penurunan kematian ibu melahirkan, perinatal (bayi dalam kandungan 7 bulan hingga 7 hari) dan bayi baru lahir, sebuah pendekatan yang segara diperlukan. Tata kelola klinis dikenal sebagai sebuah cara untuk mempermudah para penyedia layanan dan manajer di dalam sistem kesehatan, untuk mengubah budaya perawatan klinis dalam
fasilitas kesehatan dan menjadikan para pekerja kesehatan lebih bertanggungjawab dalam penyediaan layanan yang berkualitas (USAID, 2015).


B.     Tujuan
1.    Tujuan Umum           
      Mampu memahami tentang petunjuk kebijakan pengelolaan klinis dalam model kebidanan
2.    Tujuan Khusus
a.    Mampu memahami tentang konsep dasar petunjuk kebijakan untuk tata kelola klinik untuk model kebidanan
b.    Mampu memahami tentang Risk Management (Manajemen risiko)
c.    Mampu memahami tentang Continuing professional development (Melanjutkan pengembangan profesional)
d.    Mampu memahami tentang Competency measurement (penilaian kompetensi)
e.    Mampu memahami tentang Collaborative care (perawatan kolaborasi)
f.     Mampu membuat format pengkajian asuhan kebidanan
C.     Sistematika Penulisan
Sampul Depan
Kata Pengantar
Daftar Isi 
Bab I         Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.    Tujuan
1.    Tujuan Umum
2.    Tujuan Khusus
C.   Sistematika Penulisan

Bab II        Tinjauan Pustaka
Konsep dasar petunjuk kebijakan untuk tata kelola klinik untuk model kebidanan
Bab III       Pembahasan
A.    Risk Management (Manajemen risiko)
B.    Continuing professional development (Melanjutkan pengembangan profesional)
C.   Competency measurement (penilaian kompetensi)
D.   Collaborative care (perawatan kolaborasi)
Bab IV      Penutup
A.     Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Indonesia sedang berupaya mengurangi tingkat kematian ibu dan bayi. Untuk mendukung upaya ini, Program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) yang didanai oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (United States Agency for Internasional Development) telah menyusun sebuah strategi untuk memperkuat tata kelola klinis di 150 rumah sakit dan 300 puskesmas di 6 provinsi. EMAS menggunakan pengalaman mitranya, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK), yang menggunakan tata kelola klinis secara efektif dalam rumah sakit bersalinnya yang besar di Jakarta untuk memudahkan para penyedia layanan dan manajer di dalam sistem kesehatan, untuk mengubah budaya pelayanan klinis dan untuk membuat para pekerja kesehatan lebih bertanggung jawab dalam penyediaan layanan yang berkualitas (USAID, 2015).
Setiap negara di Australia berkomitmen untuk memperluas dan meningkatkan model layanan bersalin primer sebagai pendekatan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada kehamilan dan melahirkan tanpa komplikasi. Wanita dan keluarga mereka harus menjadi fokus perawatan bersalin, layanan bersalin primer dapat diberikan di unit bersalin umum, pusat kelahiran, di masyarakat atau dalam kombinasi. Perawatan meliputi antenatal, persalinan, dan nifas bagi wanita dengan kehamilan berisiko rendah. “Keamanan dan efektivitas dari pelayanan maternitas primer ditopang oleh kerangka layanan kolaborasi antara penyedia layanan yang menjamin penilaian yang tepat, rujukan tepat waktu dan akses ke layanan sekunder” (Queensland Government, 2008).
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah melaksanakan sejumlah kebijakan untuk memperkuat sistem kesehatan dalam mendukung kesehatan ibu dan bayi (KIB). Para penyedia layanan, termasuk lebih dari 200.000 bidan, telah dilatih di semua tingkat sistem kesehatan (National Academy of Sciences 2013). Fasilitas pelayanan kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru
lahir (Emergency Obstetric and Newborn Care/EmONC) yang komprehensif dilengkapi perlengkapan dan stafnya. Saat ini, 63% kelahiran terjadi di fasilitas kesehatan dan lebih dari 80% persalinan dikawal oleh penyedia layanan yang terampil. Namun, masih saja rasio kematian ibu melahirkan adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 359 setiap 100.000 kelahiran yang hidup, dan tidak ada kemajuan dalam penurunan kematian bayi baru lahir selama lebih dari satu dekade (USAID, 2015).
Pelayanan klinis merupakan core business dari rumah sakit yang perlu mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut dengan keselamatan pasiendan profesionalisme dalam pelayanan. Untuk pengembangan sistem pelayanan klinis dilakukan melalui penerapan good clinical governance. Konsep clinical governance ternyata menunjukkan perbaikan mutu pelayanan klinis yang signifikan. Konsep tersebut untuk peningkatan mutu pelayanan klinis di rumahsakit dan menjamin keselamatan pasien, yang diharapkan menjadi kerangka kerja dalam meningkatan mutu pelayanan klinis di rumah sakit. Adapun tujuan akhir diterapkannya good clinical governance adalah untuk menjaga agar pelayanan kesehatan dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar pelayanan yang tinggi serta dilakukan pada lingkungan kerja yang memiliki tingkat profesionalisme tinggi. Dengan demikian pada gilirannya akan mendukung dalam upaya mewujudkan peningkatan derajat kesehatan melalui upaya klinik yang maksimal dengan biaya yang rendah (Australian Istitute, 2007).
Kebijakan dan tata kelola yang dilakukan pemerintah di Indonesia melalui:
1.    Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang baru ditetapkan pada 17 Oktober 2014 lalu mengatur tenaga kesehatan termasuk dokter, apoteker, psikolog, perawat dan lainnya bahwa SIP (Surat Izin Praktik) hanya di satu tempat. Tepatnya di Pasal 46 Ayat 5. Berikut beberapa petikan di UU. No. 36 Tahun 2014 yang berkaitan dengan tempat praktik tenaga kesehatan.
2.    Undang-Undang yang melandasi pelayanan kebidanan
a.    UU no. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan.
b.    KEPMENKES RI no.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan.
c.    KEPMENKES RI no.369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan.
d.    PERMENKES RI no.1464/MENKES/SK/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan.
3.    Kode etik dalam pelayanan kebidanan.


BAB III
PEMBAHASAN

A.   Risk Management (Manajemen Risiko)
Dalam bidang kesehatan, manajemen risiko klinis (MRK) banyak diterapkan di Inggris dan Australia. Di Inggris MRK merupakan bagian dari Clinical Governance dalam rangka peningkatan mutu dan keselamatan pasien. MRK adalah salah satu fundamen yang harus dilaksanakan oleh unit-unit pemberi asuhan untuk menghasilkan layanan bermutu (Cahyono, 2008).
Pelayanan dalam bidang kesehatan dapat dikategorikan sebagai pelayanan yang berisiko. Ada beberapa kelompok yang dapat mengalami risiko, yaitu pasien, tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya), serta institusi pemberi pelayanan. Manajemen risiko pada umumnya meliputi tiga komponen:
1.    Risk identification and loss prevention. Identifikasi risiko dan mencegah suatu kerugian. Kegiatan yang dilakukan pada identifikasi risiko dan pencegahan kehilangan ini adalah melakukan identifikasi risiko yang dapat menimbulkan kerugian dan memperbaiki/membenahi situasi atau masalah yang dapat meningkatkan kerugian atau insiden yang berpotensi merugikan pasien, petugas kesehatan, karyawan, dan rumah sakit.
2.    Loss reduction. Dalam aktivitas Loss reduction, langkah yang diambil melakukan tindakan setelah terjadi insident, dengan tujuan untuk menimalkan kerugian (mitigasi) yang mengenai pasien, karyawan, ataupun rumah sakit.
3.    Risk financing. Kegiatan yang dilakukan dalam Risk Financing adalah untuk menjamin bahwa organisasi (rumah sakit) memiliki sumber finansil yang mencukupi untuk menaggulangi ancaman kerugian yang mungkin dapat terjadi, salah satu upaya yang dilakukan misalnya mewajibkan bidan untuk mengikuti pelatihan, asuransi gugatan mal praktik, atau melanjutkan pendidikan (Cahyono, 2008).
Risk manajement (manajemen risiko) oleh JCAHO (2002) didefinisikan sebagai suatu kegiatan klinis dan administrative dalam rangka untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menurunkan risiko cedera bagi pasien, tenaga kesehatan, dan pengunjung serta risiko kerugian bagi organisasi pelayanan itu sendiri. Jadi secara ringkas manajemen risiko adalah suatu usaha untuk mengelola risiko klinis agar pasien mendapatkan pelayanan yang bermutu dan aman (Cahyono, 2008).
Pada Policy DirectiveClinical Governance for Midwifery Models of Care bahwa standar dan petunjuk komunikasi yang konsisten antara bidan dan praktisi medis lainnya yang diperlukan dalam layanan utama. Ada juga yang harus menjadi jalur komunikasi didokumentasikan ketika konsultasi diperlukan antara layanan, yang mencakup metode pencatatan konsultasi tersebut (yaitu bidan dalam pelayanan primer ke rumah sakit rujukan). Selain itu, protocol didokumentasikan yang berada di tempat untuk merujuk dari ke layanan tingkat yang lebih tinggi jika diperlukan. Termasuk sistem terdokumentasi untuk pengiriman informasi yang efektif antara penyedia layanan dan fasilitas perawatan yang dipahami dengan baik-baik dalam merujuk dan fasilitas rujukan. Strategi manajemen risiko juga harus mematuhi Kebijakan Kesehatan Terpadu Manajemen Risiko (Queensland Government, 2008).
Setiap membuat keputusan, kita memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Keduanya membawa konsekuensi risiko. Tetapi kemungkinan terdapat pertanyaan apakah bedanya risiko dan ketidakpastian. Bramantyo (2008) memberikan definisi bahwa risiko merupakan keadaan adanya ketidakpastian dan tingkat ketidakpastiaanya terukur secara kuantitatif. Sedangkan ketidakpastian sering diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa kemungkinan kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Tetapi tingkat kemungkinan atau probabilitas kejadian itu sendiri tidak diketahui secara kuantitatif (Muhaimin, 2011).
Ketidakpastian dan risiko biasanya dijelaskan dalam kemungkinan-kemungkinan, namun demikian pada ketidakpastian seberapa besar suatu kemungkinan belum dapat diketahui secara pasti, karena masing-masing kemungkinan tidak memiliki data, sedangkan risiko memiliki data tentang berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi (Muhaimin, 2011).
Kadang-kadang risiko dianalisis dan dikelola secara sadar, akan tetapi kadang-kadang diabaikan dan tidak disadari akibatnya. Tanpa diidentifikasi, dianalisis, dan dikelola maka risiko dapat merugikan baik individu, organisasi, ataupun perusahaan jasa maupun manufaktur. Implementasi manajemen risiko diperlukan dalam aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya manajemen risiko pelayanan kesehatan (Cahyono, 2008).
Manajemen risiko adalah sistem yang menjamin pelayanan keperawatan yang tepat dan berusaha mengenai potensi bahaya dan menghilangkannya sebelum terjadi. Langkah-langkah dalam manajemen risiko adalah mengenali risiko yang mungkin, mnganalisisnya, melakukan tindakan untuk mengurangi risiko tersebut, dan mengevaluasi langkah yang telah diambil. Salah satu alat yang digunakan dalam manajemen risiko adalah laporan insiden atau laporan kejadian. Laporan kejadian memberikan data dasar untuk penelitian selanjutnya dalam upaya menjelaskan penyimpangan dari standar pelayanan, memperbaiki tindakan yang diperlukan untuk mencegah frekuensi dan untuk menghindarkan management risiko yang akan terulang.
Contoh: Klien atau pengunjung terjatuh atau cedera; gagal mengikuti perintah dokter atau penyelenggara pelayanan kesehatan; keluhan dari keluarga, klien, dokter, penyelenggara pelayanan keksehatan atau departement RS lainnya; kesalahan tekhnik atau prosedural; dan malfungsi alat atau produk. Jangan pernah melakukan dokumentasi laporan kejadian di dalam rekam medis. Bagi perawat alasan meningkatkan kualitas dan program management risiko merupakan kualitas pelayanan tertinggi. Beberapa perusahaan asuransi, medis, keperawatan, RS mewajibkan pelaksanaan peningkatkan kualitas dan manajemen risiko. Salah satu potensi risiko yang terjadi adalah berhubungan dengan penggunaan alat pengawas elektronik. Di ruang operasi, penghitungan kassa, jarum dan instrument, merupakan standar operasi rutin untuk mencegah cedera pada klien dan tuntutan hukum. Penghitungan alat pada akhir prosedur adalah kewajiban dan tanggung jawab perawat. Jika klien menderita cedera akibat adanya kassa yang tertinggal dalam tubuh sementara perawat telah menuliskan jumlah penghitungn kassa yang benar, maka RS dapat dituntut secara hokum (Bansole, 2011).
B.   Continuing Professional Development (Melanjutkan Pengembangan Profesional)
Kebidanan adalah profesi yang unik yang dalam tugasnya memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku serta kompetensi bersama dan pengetahuan dengan disiplin kesehatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan dan kompetensi didasarkan pada bukti yang dihasilkan dari penelitian dilakukan oleh bidan dan lain-lain. Oleh karena itu, kebidanan memerlukan pengetahuan dan kompetensi yang konsisten ditinjau dan direvisi berdasarkan temuan dari studi kualitas baru dan tinggi. Banyak negara saat ini keurang memberikan peluang bagi bidan untuk melanjutkan pengembangan kebidanan pendidikan lanjut (International Confederation of Midwives, 2014).
ICM percaya bahwa tugas setiap bidan agar tetap aman saat ini perlu dilakukan pelatihan dan pengembangan. Oleh karena itu, melanjutkan pendidikan harus wajib untuk semua bidan. Sesuai dengan diatas bahwa ICM:
1.    Mengakui dan mendukung beberapa pendidikan kebidanan yang menghasilkan berbagai program pendidikan, berdasarkan Standar Global ICM untuk berbagai program pendidikan dan terakreditasi.
2.    Mengakui dan mengharuskan bidan pendidik saat ini harus menguasai teori dan praktek klinis sesuai dengan standar rekomendasi ICM dan WHO.
3.    Mengakui bahwa peran penting pendidikan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk keselamatan praktik kebidanan.
4.    Mendesak asosiasi anggota untuk terus menerus mengupdate pendidikan sesuai dengan amanat untuk kemajuan pengetahuan dan praktik kebidanan sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Internasional.
5.    Mengakui bahwa, untuk memperkuat dan memajukan peran bidan, sistem pengembangan profesional harus diatur dan dilaksanakan (International Confederation of Midwives, 2014).
Pada Policy DirectiveClinical Governance for Midwifery Models of Care bahwa model asuhan kebidanan memerlukan orientasi dan induksi Program yang didokumentasikan. ACM (Australian Confederation Midwifery) telah mengembangkan alat penilaian diri bagi bidan untuk menilai kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri dalam hal peningkatan keterampilan, pengetahuan dan pengalaman bidan “Pengembangan Sumber Daya praktek: Sebuah alat penilaian diri untuk bidan”. Alat ini bukan alat penilaian kinerja atau penilaian kompetensi, Ini adalah penilaian pribadi untuk bidan praktek dalam mengembangkan kompetensi. Untuk informasi lebih lanjut. ACM juga telah mengembangkan program pengembangan profesional berkelanjutan bagi bidan. Kerangka komprehensif ini dapat digunakan dengan proses Perencanaan Kinerja dan Ulasan Queensland Kesehatan untuk merencanakan melanjutkan pengembangan profesional untuk bidan. Minimal bidan harus telah menyelesaikan pelatihan darurat obstetri seperti Bersalin Manajemen Krisis (MaCRM) atau Advanced Life Support Obstetri, dan Program Resusitasi Neonatal (NRP). Pelatihan ini harus dilakukan setidaknya sekali setiap tiga tahun (Queensland Government, 2008).
Pola pengembangan profesional berkelanjutan telah dikembangkan atau dirumuskan sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan pendidikan berkelanjutan bidan mengacu pada peningkatan kualitas bidan sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Materi pendidikan berkelanjutan meliputi aspek klinik dan non klinik. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor; 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, salah satu komponen didalamnya berisi mengenai standar pendidikan bidan berkelanjutan.
STANDAR I: ORGANISASI
Peyelenggaraan Pendidikan Berkelanjutan Bidan berada di bawah organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) pada tingkat Pengurus Pusat (PP-IBI), Pengurus Daerah (PD-IBI)dan Pengurus Cabang (PC -IBI) 
Definisi Operasional :
1.    Pendidikan berkelanjutan untuk bidan, terdapat dalam organisasi profesi IBI.
2.    Keberadaan pendidikan berkelanjutan bidan dalam organisasi profesi IBI, disahkan oleh PPIBI/PD-IBI/PC-IBI.
STANDAR II : FALSAFAH
Pendidikan berkelanjutan untuk bidan mempunyai falsafah yang selaras dengan falsafah organisasi profesi IBI yang terermin visi, misi dan tujuan. Definisi Operasional :
1.    Bidan harus mengembangkan diri dan belajar sepanjang hidupnya.
2.    Pendidikan berkelanjutan merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan bidan.
3.    Melalui penelitian dalam Pendidikan Berkelanjutan akan memperkaya Body of Knowledge ilmu kebidanan. 

STANDAR III : SUMBER DAYA PENDIDIKAN
Pendidikan berkelanjutan untuk bidan mempunyai sumber daya manusia, finansial dan material untuk memperlancar proses pendidikan berkelanjutan. Definisi Operasional :
1.    Memiliki sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi dan mampu melaksanakan / mengelola pendidikan berkelanjutan.
2.    Ada sumber finansial yang menjamin terselenggaranya program. 
STANDAR IV : PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pendidikan berkelanjutan bidan memiliki program pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan. Definisi Operasional :
1.    Program Pendidikan Berkelanjutan bidan berdasarkan hasil pengkajian kelayakan.
2.    Ada program yang sesuai dengan hasil pengkajian kelayakan.
3.    Program tersebut disahkan/ terakreditasi organisasi IBI (PP/PD/PC), yang di buktikan dengan adanya sertifikat. 
STANDAR V : FASILITAS
Pendidikan berkelanjutan bidan memiliki fasilitas pembelajaran yang sesuai dengan standar.
Definisi Operasional :
1.    Tersedia fasilitas pembelajaran yang terakreditasi.
2.    Tersedia fasilitas pembelajaran sesuai perkembangan ilmu dan teknologi.


STANDAR VI: DOKUMEN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pendidikan berkelanjutan dan pengembangan bidan perlu pendokumentasian Definisi Operasional :
1.    Ada dokumentasi pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
2.    Ada laporan pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
3.    Ada laporan evaluasi pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
4.    Ada rencana tindak lanjut yang jelas.
STANDAR VII : PENGENDALIAN MUTU
Pendidikan berkelanjutan bidan melaksanakan pengendalian mutu pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
Definisi Operasional :
1.    Ada program peningkatan mutu pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
2.    Ada penilaian mutu proses pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
3.    Ada penilaian mutu pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
4.    Ada umpan balik tentang penilaian mutu.
5.    Ada tindak lanjut dari penilaian mutu.
C.   Competency Measurement (Penilaian Kompetensi)
Competency measurement menurut ICM (International Confederation Midwives) bahwa:
1.    Mengakui dan mengharuskan kompetensi untuk praktek kebidanan, berdasarkan pada ICM Essential Competencies for Basic Midwifery Practice (2010), didefinisikan secara lokal, sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan area dunia di mana bidan berlatih.
2.    Mendukung dan membutuhkan bahwa kompetensi penting untuk praktik kebidanan termasuk dalam desain dan implementasi kurikulum kebidanan.
3.    Mengamanatkan bahwa kurikulum memberikan kesempatan bagi semua peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku professional untuk memungkinkan bidan dapat berlatih dalam melaksanakan perannya sesuai kesepakatan dalam ICM Definition of the
Midwife (2011) (International Confederation Midwives, 2014).
Pada panduan Policy DirectiveClinical Governance for Midwifery Models of Care Bidan membutuhkan bukti kompetensi kebidanan di:
1.    Perbaikan perineum dan pemeriksaan spekulum,
2.    Kanulasi IV dan venipuncture,
3.    Resusitasi neonatal,
4.    Resusitasi maternal,
5.    Pengelolaan distosia bahu, postpartumS/pendarahan antepartum, pra eklampsia /eklampsia, prolaps tali pusat dan presentasi sungsang tidak terdiagnosis.
6.    Pemantauan janin intrapartum termasuk indikasi untuk penggunaan dan interpretasi cardiotcograph yang (CTG)
Area tambahan kompetensi dapat diperoleh oleh bidan sebagai identifikasi dan dinegosiasikan secara lokal. Kerangka kerja untuk bidan yang bekerja di model kebidanan dikelola oleh keperawatan (Queensland Government, 2008).
Di Indonesia keberhasilan seorang bidan dalam melaksanakan pendidikan,  pembelajaran dan asuhan tidak terlepas dari kompetensi yang dimilikinya. Betapa pun tinggi semangat dan motivasi yang dimiliki oleh bidan maka kinerja bidan tidak dapat maksimal jika tidak dibarengi dengan penguasaan kompetensi profesional yang dipersyaratkan. Kompetensi profesional bidan mencakup sembilan standar  kompetensi yang di mana sudah harus dimiliki semua bidan.
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melakukan tugas di bidang tertentu. Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara dan memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negara itu.
Kompetensi bidan adalah kemampuan bidan untuk mengerjakan suatu tugas dan  pekerjaan yg dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor; 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, salah satu komponen didalamnya berisi mengenai standar kompetensi bidan di Indonesia, sebagai acuan untuk melakukan asuhan kebidanan kepada individu, keluarga dan masyarakat.
Kompetensi ke 1:
      Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi, sesuai dengan budaya untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.
Maksudnya ialah jadi setiap bidan selain mempunyai kompetensi dan keterampilan berbasis kedokteran bidan juga harus mempunyai ilmu sosial dan etik yang bermutu sesuai dengan kebudayaan masyarakat, misalnya mempunyai dan dapat menyampaikan pengetahuan kepada masyarakat tentang manfaat dan kerugian praktik kesehatan tradisional dan modern.
Kompetensi ke 2:
Bidan memberikan asuahan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh di masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua.
Maksudnya ialah jadi seorang bidan selain harus bisa memberikan asuhan kesehatan yang benar seperti memberikan konseling pada saat kehamilan kepada pasangan calon orang tua tetapi seorang bidan juga harus mampu menempatkan diri tentang bagaimana menanggapi perbedaan kebudayaan di setiap lapisan masyarakat.
Kompetensi ke 3:
Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi deteksi dini, pengobatan atau rujukan.
Maksudnya disini ialah Bidan harus memberikan asuhan kehamilan yang baik dan benar untuk memaksimlkan kesehatan selama kehamilan diantaranya adalah memeriksa tanda,gejala dan indikasi rujukan pada komplikasi tertentu dalam kehamilan.


Kompetensi ke 4:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin suatu persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi kegawat daruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir.
Maksudnya ialah seorang bidan harus menguasai budaya-budaya mengenai pesalinan yang ada di masing-masing daerah yang akan digelutinya. Berbasis persalinan yang baik dan benar, yang dapat menangani segala kemungkinan kondisi yang akan terjadi mengenai masalah kesehatan wanita dan bayi yang baru lahir.
Kompetensi ke 5:
Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi, tanggap terhadap budaya setempat.
Maksudnya ialah, jadi seorang bidan harus memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui dengan pelayanan yang baik dengan memberi pengetahuan mengenai masalah-masalah pada saat menyusui, manfaat ASI eklusif dan melakukan konseling tentang seksualitas dan KB pascapersalianan dengan menyesuaikan terhadap budaya masyarakat setempat.
Kompetensi ke 6:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprenshensif pada bayi baru lahir sehat, sampai dengan umur 1 bulan.
Maksudnya ialah bidan harus teliti cermat dan berhati- hati dalam menangani bayi yang bau lahir sampai dengan umur 1 bulan seperti membersihkan badan bayi baru lahir dan melakukan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir.
Kompetensi ke 7:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprehensif pada bayi dan balita sehat (1 bln - 5 thn).
Maksudnya ialah bidan tidak hanya menangani dan memberi asuhan kepada bayi yang baru lahir tetapi juga terhadap bayi dan balita seperti dalam hal menangani panyakit atau kelainan pada saat masa pertumbuhan bayi dan anak.
Kompetensi ke 8:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprehensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai budaya setempat.
Maksudnya ialah bidan juga memberikan asuhan kesehatan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan kebudayaan yang ada di daerah setempat dengan cara memberi penyuluhan kepada suatu kelompok atau masyarakat setempat.
Kompetensi ke 9:
Bidan melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan reproduksi.         
Maksudnya ialah bidan harus mengetahui dan memahami masalah - masalah tentang asuhan kebidanan yang berkaitan dengan gangguan reproduksi contohnya terhadap pasien dengan penyakit keputihan yang parah.
D.   Collaborative Care (Perawatan Kolaborasi)
Kolaborasi Interprofessional memastikan klien menjadi pusat perhatian dalam memberikan asuhan. Klien mendapat apa yang Dia butuhkan dari sistem perawatan kesehatan - perawatan yang tepat pada waktu yang tepat dari penyedia yang tepat. Bidan berkolaborasi dengan rekan perawatan kesehatan tentang perawatan klien individu, kebijakan masyarakat dan rumah sakit, dan strategi tingkat provinsi dan perencanaan (Ontario Midwifery, 2014).
Bidan dapat berkonsultasi dengan berbagai spesialis dalam merawat ibu dan bayi, atau bidan dapat menyediakan semua perawatan primer yang dibutuhkan untuk ibu dan bayi, dari konsepsi sampai enam minggu setelah melahirkan (Ontario Midwifery, 2014).
Selain itu, bidan dapat berkolaborasi dengan tenaga profesional kesehatan lainnya tergantung pada kebutuhan klien. Ini mungkin termasuk apoteker, perawat kesehatan masyarakat, pekerja sosial, ahli gizi, dan konsultan laktasi. Asosiasi Rumah Sakit Ontario mendukung integrasi bidan dalam pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit Ontario, dan mengakui kebidanan sebagai sarana yang dapat diandalkan dan efektif memberikan pelayanan berkualitas bagi ibu dan bayi baru lahir (Ontario Midwifery, 2014).
Model kebidanan kolaboratif adalah kolaborasi yanga melibatkan dialog dan hubungan dengan anggota lain dari tim ibu-bayi yang baru lahir yang sedang berlangsung. Sangat penting bahwa berbagai penyedia layanan kesehatan bekerja sama untuk memberikan kualitas terbaik dari perawatan
dalam setiap pengaturan perawatan kesehatan (Ontario Midwifery, 2014).
Integrasi perawatan kesehatan fisik dan mental merupakan aspek penting dari rumah perawatan kesehatan. Program perawatan kolaboratif adalah
salah satu pendekatan integrasi di mana penyedia perawatan primer,
manajer perawatan, dan konsultan kejiwaan bekerja sama untuk memberikan
perawatan dan memantau kemajuan pasien. Program-program ini telah
terbukti baik secara klinis efektif dan hemat biaya untuk berbagai kondisi
kesehatan mental, dalam berbagai pengaturan, menggunakan beberapa
mekanisme pembayaran yang berbeda (Unutzer, 2013)
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau rujukan. Pelayanan Kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga, sesuai dengan kewenangan dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga, dan masyarakat yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan pelayanan kebidanan dapat dibedakan menjadi:
1.    Layanan primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.
2.    Layanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota timyang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.
3.    Layanan rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke system layanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat/ fasilitas pelayanan kesehatan lain secara horizontal maupun vertical atau meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu serta bayinya (Kemenkes RI, 2007).
Peran merupakan tingkah laku yang digarapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam suatu system. Dalam melaksanakan profesinya, bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti. Sebagai pelaksana bidan mempunyai 3 kategori tugas yakni mandiri, kolaborasi, dan ketergantungan/merujuk. Berikut dijelaskan tugas pokok bidan dalam memberikan asuhan kolaborasi:
1.    Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga, mencakup:
a.    Mengkaji masalah yang berkaitan dengan komplikasi dan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
c.    Merencanakan tindakan sesuai dengan rencana dan melibatkan klien
d.    Membuat pencatatan dan pelaporan.
2.    Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi, mencakup:
a.    Mengkaji kebutuhan asuhan pada kasus risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan kegawatdaruratan pada kasus risiko tinggi.
c.    Menyususn rencana asuhan dan tindakan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada kasus ibu hamil dengan risiko tinggi dan memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.    Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.     Menyususn rencana tindak lanjut bersama klien.
g.    Membuat pencatatan dan pelaporan.
3.    Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga, mencakup:
a.    Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan kegawatdaruratan
c.    Menyususn rencana asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.    Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.     Menyususn rencana tindak lanjut bersama klien.
g.    Membuat pencatatan dan pelaporan.
4.    Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan klien dan keluarga, mencakup:
a.    Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan kegawatdaruratan.
c.    Menyususn rencana asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.    Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.     Menyususn rencana tindak lanjut bersama klien.
g.    Membuat pencatatan dan pelaporan.
5.    Memberikan asuhan pada BBL dengan risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan meliatkan klien dan keluarga, mencakup:
a.    Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan kegawatdaruratan.
c.    Menyususn rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.    Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.     Menyususn rencana tindak lanjut bersama klien.
g.    Membuat pencatatan dan pelaporan.
6.    Memberikan asuhan kebidanan pada balita dengan risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan melibatkan keluarga, mencakup:
a.    Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.    Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan kegawatdaruratan.
c.    Menyususn rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.    Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.     Menyususn rencana tindak lanjut bersama klien.
g.    Membuat pencatatan dan pelaporan (Kemenkes RI 2007).




BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Permasalahan kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia memang tidak mudah untuk diurai, akan tetapi melalui pendekatan strategic leadership dan learning organization yang inovatif seperti kebijakan program tata kelola klinik model kebidanan maka kualitas pelayanan kesehatan yang tercermin dari masih belum tercapainya penurunan angka kematian maternal dan neonatal yang bermakna dapat berubah. Kinerja kualitas pelayanan ditentukan oleh banyak faktor seperti sarana prasarana, dan kebijakan yang berpihak. Fakta bahwa tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas saat ini akan sangat terbantu dengan berfungsinya sistem pelayanan emergensi maternal dan neonatal melalui berjalannya tata kelola klinik yang baik mulai dari tingkat fasilitas kesehatan hingga di tingkat Dinas Kesehatan di wilayah.
B.  Saran
1.    Diharapkan pendampingan klinis seharusnya merupakan bagian dari pengembangan pendidikan tenaga kesehatan profesional yang menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten.
2.    Sebaikanya pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang diberikan berdasarkan standar profesi pada kasus maternal-neonatal yang mengalami penyulit dan memerlukan penanganan adekuat dari tingkat pelayanan terendah sampai tertinggi secara berkolaborasi, yang berorientasi bagi keselamatan ibu dan bayi baru lahir serta keluarganya.
3.    Lebih dari sekedar sekumpulan individu, Tim adalah sekelompok orang yang bekerja dalam satu saling ketergantungan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Pelayanan berkualitas adalah serangkaian kegiatan yang sangat kompleks, membutuhkan kolaborasi di antara banyak individu yang memiliki berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Oleh karena itu melakukan pendekatan tim dalam upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan sebagai suatu kinerja kolektif juga merupakan hal penting untuk membuat sebuah fasilitas kesehatan siap dan mau memberikan pelayanan emergensi yang berkualitas.