BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan hal tersebut
merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Kesehatan Kemenkes RI 2014).
Untuk mewujudkan hal tersebut, diselenggarakan upaya
kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan
dan upaya kesehatan masyarakat, dengan pendekatan promotif, preventif,
rehabilitative yang diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Untuk mendukung upaya kesehatan maka diperlukan
Tenaga Kesehatan yang bertugas melakukan kegiatan pelayanan kesehatan yang
berkualitas sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya. Bidan adalah
salah satu kategori tenaga kesehatang yang dapat berperan serta dalam upaya
mewujudkan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal khususnya
kesejahteraan ibu dan anak (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Kemenkes RI 2014).
Konsep dasar kebidanan menegaskan keunikan bidan dalam
meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga pada usia subur yaitu bekerja sama dengan
perempuan dalam memelihara diri sendiri dan meningkatkan kesehatan bagi diri
dan keluarganya, menghargai martabat manusia dan memperlakukan perempuan
sebagai perempuan seutuhnya sesuai hak asasi, membela dan memberdayakan kaum
perempuan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, kepekaan
terhadap budaya dan bekerja sama dengan perempuan dan petugas kesehatan untuk
mengatasi praktik-praktik budaya yang merugikan kaum perempuan, memusatkan pada
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, memandang kehamilan sebagai
suatu peristiwa kehidupan normal (Sari, 2012).
Sejarah menunjukkan bahwa kebidanan merupakan salah satu
profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban ummat manusia. Bidan lahir
sebagai perempuan terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu yang
melahirkan. Profesi ini telah mendudukkan peran dan posisi seorang bidan
menjadi terhormat di masyarakat karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam
upaya memberikan semangat dan membesarkan hati ibu (Hidayat, 2009).
Untuk mempercepat penurunan kematian ibu
melahirkan, perinatal (bayi dalam kandungan 7 bulan hingga 7 hari) dan bayi
baru lahir, sebuah pendekatan yang segara diperlukan. Tata kelola klinis
dikenal sebagai sebuah cara untuk mempermudah para penyedia layanan dan manajer
di dalam sistem kesehatan, untuk mengubah budaya perawatan klinis dalam
fasilitas kesehatan dan menjadikan para pekerja kesehatan lebih bertanggungjawab dalam penyediaan layanan yang berkualitas (USAID, 2015).
fasilitas kesehatan dan menjadikan para pekerja kesehatan lebih bertanggungjawab dalam penyediaan layanan yang berkualitas (USAID, 2015).
B. Tujuan
1. Tujuan
Umum
Mampu memahami
tentang petunjuk kebijakan pengelolaan klinis dalam model kebidanan
2. Tujuan
Khusus
a.
Mampu memahami tentang konsep dasar petunjuk
kebijakan untuk tata kelola klinik untuk model kebidanan
b.
Mampu memahami tentang Risk
Management (Manajemen
risiko)
c.
Mampu
memahami tentang Continuing professional
development (Melanjutkan pengembangan profesional)
d.
Mampu memahami tentang Competency
measurement
(penilaian kompetensi)
e.
Mampu memahami tentang Collaborative
care (perawatan kolaborasi)
f. Mampu
membuat format pengkajian asuhan kebidanan
C. Sistematika
Penulisan
Sampul Depan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar
Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan
Umum
2. Tujuan
Khusus
C. Sistematika
Penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Konsep dasar petunjuk kebijakan untuk tata
kelola klinik untuk model kebidanan
Bab III Pembahasan
A.
Risk Management (Manajemen risiko)
B.
Continuing professional development (Melanjutkan pengembangan
profesional)
C.
Competency measurement (penilaian kompetensi)
D.
Collaborative care (perawatan kolaborasi)
Bab IV Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kementerian Kesehatan
Indonesia sedang berupaya mengurangi tingkat kematian ibu dan bayi. Untuk
mendukung upaya ini, Program EMAS (Expanding
Maternal and Neonatal Survival) yang didanai oleh Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (United States Agency for Internasional
Development) telah menyusun sebuah strategi untuk memperkuat tata kelola
klinis di 150 rumah sakit dan 300 puskesmas di 6 provinsi. EMAS menggunakan
pengalaman mitranya, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK), yang menggunakan
tata kelola klinis secara efektif dalam rumah sakit bersalinnya yang besar di
Jakarta untuk memudahkan para penyedia layanan dan manajer di dalam sistem
kesehatan, untuk mengubah budaya pelayanan klinis dan untuk membuat para
pekerja kesehatan lebih bertanggung jawab dalam penyediaan layanan yang
berkualitas (USAID, 2015).
Setiap negara di Australia
berkomitmen untuk memperluas dan meningkatkan model layanan bersalin primer
sebagai pendekatan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada kehamilan dan
melahirkan tanpa komplikasi. Wanita dan keluarga mereka harus menjadi fokus
perawatan bersalin, layanan bersalin primer dapat diberikan di unit bersalin
umum, pusat kelahiran, di masyarakat atau dalam kombinasi. Perawatan meliputi
antenatal, persalinan, dan nifas bagi wanita dengan kehamilan berisiko rendah. “Keamanan
dan efektivitas dari pelayanan maternitas primer ditopang oleh kerangka layanan
kolaborasi antara penyedia layanan yang menjamin penilaian yang tepat, rujukan
tepat waktu dan akses ke layanan sekunder” (Queensland
Government, 2008).
Di Indonesia,
Kementerian Kesehatan telah melaksanakan sejumlah kebijakan untuk memperkuat sistem
kesehatan dalam mendukung kesehatan ibu dan bayi (KIB). Para penyedia layanan,
termasuk lebih dari 200.000 bidan, telah dilatih di semua tingkat sistem
kesehatan (National Academy of Sciences
2013). Fasilitas pelayanan kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru
lahir (Emergency Obstetric and Newborn Care/EmONC) yang komprehensif dilengkapi perlengkapan dan stafnya. Saat ini, 63% kelahiran terjadi di fasilitas kesehatan dan lebih dari 80% persalinan dikawal oleh penyedia layanan yang terampil. Namun, masih saja rasio kematian ibu melahirkan adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 359 setiap 100.000 kelahiran yang hidup, dan tidak ada kemajuan dalam penurunan kematian bayi baru lahir selama lebih dari satu dekade (USAID, 2015).
lahir (Emergency Obstetric and Newborn Care/EmONC) yang komprehensif dilengkapi perlengkapan dan stafnya. Saat ini, 63% kelahiran terjadi di fasilitas kesehatan dan lebih dari 80% persalinan dikawal oleh penyedia layanan yang terampil. Namun, masih saja rasio kematian ibu melahirkan adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 359 setiap 100.000 kelahiran yang hidup, dan tidak ada kemajuan dalam penurunan kematian bayi baru lahir selama lebih dari satu dekade (USAID, 2015).
Pelayanan klinis merupakan core business dari
rumah sakit yang
perlu mendapat perhatian khusus terutama yang menyangkut dengan keselamatan
pasiendan profesionalisme dalam pelayanan. Untuk pengembangan sistem pelayanan
klinis dilakukan melalui penerapan good clinical governance. Konsep clinical
governance ternyata menunjukkan perbaikan mutu pelayanan klinis yang
signifikan. Konsep tersebut untuk peningkatan mutu pelayanan klinis di
rumahsakit dan menjamin keselamatan pasien, yang diharapkan
menjadi kerangka kerja dalam
meningkatan mutu pelayanan klinis di rumah
sakit. Adapun tujuan akhir
diterapkannya good clinical governance adalah untuk menjaga agar
pelayanan kesehatan dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar
pelayanan yang tinggi serta dilakukan pada lingkungan kerja yang memiliki
tingkat profesionalisme tinggi. Dengan demikian pada gilirannya akan mendukung
dalam upaya mewujudkan peningkatan derajat kesehatan melalui upaya klinik yang
maksimal dengan biaya yang rendah (Australian
Istitute, 2007).
Kebijakan dan tata kelola yang
dilakukan pemerintah di Indonesia melalui:
1.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang baru ditetapkan
pada 17 Oktober 2014 lalu mengatur tenaga kesehatan termasuk dokter,
apoteker, psikolog, perawat dan lainnya bahwa SIP (Surat Izin Praktik) hanya di
satu tempat. Tepatnya di Pasal 46 Ayat 5. Berikut beberapa petikan di UU. No. 36 Tahun 2014 yang berkaitan dengan tempat praktik
tenaga kesehatan.
2.
Undang-Undang yang melandasi pelayanan
kebidanan
a. UU
no. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan.
b. KEPMENKES
RI no.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan.
c. KEPMENKES
RI no.369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan.
d. PERMENKES
RI no.1464/MENKES/SK/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan.
3.
Kode etik dalam pelayanan kebidanan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Risk Management
(Manajemen Risiko)
Dalam bidang kesehatan, manajemen risiko
klinis (MRK) banyak diterapkan di Inggris dan Australia. Di Inggris MRK
merupakan bagian dari Clinical Governance
dalam rangka peningkatan mutu dan keselamatan pasien. MRK adalah salah satu
fundamen yang harus dilaksanakan oleh unit-unit pemberi asuhan untuk
menghasilkan layanan bermutu (Cahyono, 2008).
Pelayanan dalam bidang kesehatan dapat
dikategorikan sebagai pelayanan yang berisiko. Ada beberapa kelompok yang dapat
mengalami risiko, yaitu pasien, tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan
tenaga kesehatan lainnya), serta institusi pemberi pelayanan. Manajemen risiko
pada umumnya meliputi tiga komponen:
1.
Risk identification and
loss prevention. Identifikasi risiko dan mencegah suatu kerugian. Kegiatan yang
dilakukan pada identifikasi risiko dan pencegahan kehilangan ini adalah
melakukan identifikasi risiko yang dapat menimbulkan kerugian dan
memperbaiki/membenahi situasi atau masalah yang dapat meningkatkan kerugian
atau insiden yang berpotensi merugikan pasien, petugas kesehatan, karyawan, dan
rumah sakit.
2.
Loss reduction. Dalam aktivitas Loss reduction, langkah yang diambil
melakukan tindakan setelah terjadi insident, dengan tujuan untuk menimalkan
kerugian (mitigasi) yang mengenai pasien, karyawan, ataupun rumah sakit.
3.
Risk financing. Kegiatan yang dilakukan
dalam Risk Financing adalah untuk
menjamin bahwa organisasi (rumah sakit) memiliki sumber finansil yang mencukupi
untuk menaggulangi ancaman kerugian yang mungkin dapat terjadi, salah satu
upaya yang dilakukan misalnya mewajibkan bidan untuk mengikuti pelatihan,
asuransi gugatan mal praktik, atau melanjutkan pendidikan (Cahyono, 2008).
Risk
manajement
(manajemen risiko) oleh JCAHO (2002) didefinisikan sebagai suatu kegiatan
klinis dan administrative dalam rangka untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,
dan menurunkan risiko cedera bagi pasien, tenaga kesehatan, dan pengunjung
serta risiko kerugian bagi organisasi pelayanan itu sendiri. Jadi secara
ringkas manajemen risiko adalah suatu usaha untuk mengelola risiko klinis agar
pasien mendapatkan pelayanan yang bermutu dan aman (Cahyono, 2008).
Pada Policy DirectiveClinical Governance for
Midwifery Models of Care bahwa standar dan petunjuk komunikasi yang
konsisten antara bidan dan praktisi medis lainnya yang diperlukan dalam layanan
utama. Ada juga yang harus menjadi jalur komunikasi didokumentasikan ketika
konsultasi diperlukan antara layanan, yang mencakup metode pencatatan
konsultasi tersebut (yaitu bidan dalam pelayanan primer ke rumah sakit rujukan).
Selain itu, protocol didokumentasikan yang berada di tempat untuk merujuk dari
ke layanan tingkat yang lebih tinggi jika diperlukan. Termasuk sistem
terdokumentasi untuk pengiriman informasi yang efektif antara penyedia layanan
dan fasilitas perawatan yang dipahami dengan baik-baik dalam merujuk dan
fasilitas rujukan. Strategi manajemen risiko juga harus mematuhi Kebijakan
Kesehatan Terpadu Manajemen Risiko (Queensland
Government, 2008).
Setiap membuat keputusan, kita memutuskan untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Keduanya membawa konsekuensi risiko.
Tetapi kemungkinan terdapat pertanyaan apakah bedanya risiko dan ketidakpastian.
Bramantyo (2008) memberikan definisi bahwa risiko merupakan keadaan adanya
ketidakpastian dan tingkat ketidakpastiaanya terukur secara kuantitatif.
Sedangkan ketidakpastian sering diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa
kemungkinan kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda.
Tetapi tingkat kemungkinan atau probabilitas kejadian itu sendiri tidak
diketahui secara kuantitatif (Muhaimin, 2011).
Ketidakpastian dan risiko biasanya dijelaskan dalam
kemungkinan-kemungkinan, namun demikian pada ketidakpastian seberapa besar
suatu kemungkinan belum dapat diketahui secara pasti, karena masing-masing
kemungkinan tidak memiliki data, sedangkan risiko memiliki data tentang
berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi (Muhaimin, 2011).
Kadang-kadang risiko dianalisis dan dikelola secara
sadar, akan tetapi kadang-kadang diabaikan dan tidak disadari akibatnya. Tanpa
diidentifikasi, dianalisis, dan dikelola maka risiko dapat merugikan baik
individu, organisasi, ataupun perusahaan jasa maupun manufaktur. Implementasi
manajemen risiko diperlukan dalam aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya
manajemen risiko pelayanan kesehatan (Cahyono, 2008).
Manajemen
risiko adalah sistem yang menjamin pelayanan keperawatan yang tepat dan
berusaha mengenai potensi bahaya dan menghilangkannya sebelum terjadi.
Langkah-langkah dalam manajemen risiko adalah mengenali risiko yang mungkin,
mnganalisisnya, melakukan tindakan untuk mengurangi risiko tersebut, dan
mengevaluasi langkah yang telah diambil. Salah satu alat yang digunakan dalam
manajemen risiko adalah laporan insiden atau laporan kejadian. Laporan kejadian
memberikan data dasar untuk penelitian selanjutnya dalam upaya menjelaskan
penyimpangan dari standar pelayanan, memperbaiki tindakan yang diperlukan untuk
mencegah frekuensi dan untuk menghindarkan management
risiko yang akan terulang.
Contoh: Klien atau
pengunjung terjatuh atau cedera; gagal mengikuti perintah dokter atau
penyelenggara pelayanan kesehatan; keluhan dari keluarga, klien, dokter,
penyelenggara pelayanan keksehatan atau departement RS lainnya; kesalahan
tekhnik atau prosedural; dan malfungsi alat atau produk. Jangan pernah
melakukan dokumentasi laporan kejadian di dalam rekam medis. Bagi perawat
alasan meningkatkan kualitas dan program management
risiko merupakan kualitas pelayanan tertinggi. Beberapa perusahaan asuransi,
medis, keperawatan, RS mewajibkan pelaksanaan peningkatkan kualitas dan
manajemen risiko. Salah satu potensi risiko yang terjadi adalah berhubungan
dengan penggunaan alat pengawas elektronik. Di ruang operasi, penghitungan
kassa, jarum dan instrument, merupakan standar operasi rutin untuk mencegah
cedera pada klien dan tuntutan hukum. Penghitungan alat pada akhir prosedur
adalah kewajiban dan tanggung jawab perawat. Jika klien menderita cedera akibat
adanya kassa yang tertinggal dalam tubuh sementara perawat telah menuliskan
jumlah penghitungn kassa yang benar, maka RS dapat dituntut secara hokum
(Bansole, 2011).
B. Continuing Professional Development
(Melanjutkan Pengembangan Profesional)
Kebidanan
adalah profesi yang unik yang dalam tugasnya memerlukan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku serta kompetensi bersama dan pengetahuan dengan
disiplin kesehatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan dan kompetensi
didasarkan pada bukti yang dihasilkan dari penelitian dilakukan oleh bidan dan
lain-lain. Oleh karena itu, kebidanan memerlukan pengetahuan dan kompetensi
yang konsisten ditinjau dan direvisi berdasarkan temuan dari studi kualitas
baru dan tinggi. Banyak negara saat ini keurang memberikan peluang bagi bidan
untuk melanjutkan pengembangan kebidanan pendidikan lanjut (International Confederation of Midwives,
2014).
ICM percaya
bahwa tugas setiap bidan agar tetap aman saat ini perlu dilakukan pelatihan dan
pengembangan. Oleh karena itu, melanjutkan pendidikan harus wajib untuk semua
bidan. Sesuai dengan diatas bahwa ICM:
1.
Mengakui
dan mendukung beberapa pendidikan kebidanan yang menghasilkan berbagai program
pendidikan, berdasarkan Standar Global ICM untuk berbagai program pendidikan
dan terakreditasi.
2.
Mengakui
dan mengharuskan bidan pendidik saat ini harus menguasai teori dan praktek klinis
sesuai dengan standar rekomendasi ICM dan WHO.
3.
Mengakui
bahwa peran penting pendidikan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk
keselamatan praktik kebidanan.
4.
Mendesak
asosiasi anggota untuk terus menerus mengupdate pendidikan sesuai dengan amanat
untuk kemajuan pengetahuan dan praktik kebidanan sebagaimana tercantum dalam
Kode Etik Internasional.
5.
Mengakui
bahwa, untuk memperkuat dan memajukan peran bidan, sistem pengembangan
profesional harus diatur dan dilaksanakan (International
Confederation of Midwives, 2014).
Pada
Policy
DirectiveClinical Governance for Midwifery Models of Care bahwa
model asuhan kebidanan memerlukan orientasi dan induksi Program yang
didokumentasikan. ACM (Australian
Confederation Midwifery) telah mengembangkan alat penilaian diri bagi bidan
untuk menilai kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri dalam hal
peningkatan keterampilan, pengetahuan dan pengalaman bidan “Pengembangan Sumber
Daya praktek: Sebuah alat penilaian diri untuk bidan”. Alat ini bukan alat
penilaian kinerja atau penilaian kompetensi, Ini adalah penilaian pribadi untuk
bidan praktek dalam mengembangkan kompetensi. Untuk informasi lebih lanjut. ACM
juga telah mengembangkan program pengembangan profesional berkelanjutan bagi
bidan. Kerangka komprehensif ini dapat digunakan dengan proses Perencanaan
Kinerja dan Ulasan Queensland Kesehatan
untuk merencanakan melanjutkan pengembangan profesional untuk bidan. Minimal
bidan harus telah menyelesaikan pelatihan darurat obstetri seperti Bersalin
Manajemen Krisis (MaCRM) atau Advanced
Life Support Obstetri, dan Program Resusitasi Neonatal (NRP). Pelatihan ini
harus dilakukan setidaknya sekali setiap tiga tahun (Queensland Government, 2008).
Pola pengembangan profesional berkelanjutan telah
dikembangkan atau dirumuskan sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan pendidikan
berkelanjutan bidan mengacu pada peningkatan kualitas bidan sesuai dengan
kebutuhan pelayanan. Materi pendidikan berkelanjutan meliputi aspek klinik dan
non klinik. Sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor; 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, salah
satu komponen didalamnya berisi mengenai standar pendidikan bidan
berkelanjutan.
STANDAR
I: ORGANISASI
Peyelenggaraan Pendidikan
Berkelanjutan Bidan berada di bawah organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
pada tingkat Pengurus Pusat (PP-IBI), Pengurus Daerah (PD-IBI)dan Pengurus
Cabang (PC -IBI)
Definisi Operasional :
1. Pendidikan berkelanjutan untuk bidan,
terdapat dalam organisasi profesi IBI.
2. Keberadaan pendidikan berkelanjutan
bidan dalam organisasi profesi IBI, disahkan oleh PPIBI/PD-IBI/PC-IBI.
STANDAR
II : FALSAFAH
Pendidikan berkelanjutan untuk bidan
mempunyai falsafah yang selaras dengan falsafah organisasi profesi IBI yang
terermin visi, misi dan tujuan. Definisi Operasional :
1. Bidan harus mengembangkan diri dan
belajar sepanjang hidupnya.
2. Pendidikan berkelanjutan merupakan
kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan bidan.
3. Melalui penelitian dalam Pendidikan
Berkelanjutan akan memperkaya Body of
Knowledge ilmu kebidanan.
STANDAR
III : SUMBER DAYA PENDIDIKAN
Pendidikan berkelanjutan untuk bidan
mempunyai sumber daya manusia, finansial dan material untuk memperlancar proses
pendidikan berkelanjutan. Definisi Operasional :
1. Memiliki sumber daya manusia yang memenuhi
kualifikasi dan mampu melaksanakan / mengelola pendidikan berkelanjutan.
2. Ada sumber finansial yang menjamin
terselenggaranya program.
STANDAR
IV : PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pendidikan berkelanjutan bidan
memiliki program pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan sesuai dengan
kebutuhan dan pengembangan. Definisi Operasional :
1. Program Pendidikan Berkelanjutan bidan
berdasarkan hasil pengkajian kelayakan.
2. Ada program yang sesuai dengan hasil
pengkajian kelayakan.
3. Program tersebut disahkan/
terakreditasi organisasi IBI (PP/PD/PC), yang di buktikan dengan adanya
sertifikat.
STANDAR
V : FASILITAS
Pendidikan berkelanjutan bidan
memiliki fasilitas pembelajaran yang sesuai dengan standar.
Definisi Operasional :
1. Tersedia fasilitas pembelajaran yang
terakreditasi.
2. Tersedia fasilitas pembelajaran sesuai
perkembangan ilmu dan teknologi.
STANDAR
VI: DOKUMEN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pendidikan berkelanjutan dan
pengembangan bidan perlu pendokumentasian Definisi Operasional :
1. Ada dokumentasi pelaksanaan
pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
2. Ada laporan pelaksanaan pendidikan,
pelatihan dan pengembangan.
3. Ada laporan evaluasi pendidikan,
pelatihan dan pengembangan.
4. Ada rencana tindak lanjut yang jelas.
STANDAR
VII : PENGENDALIAN MUTU
Pendidikan berkelanjutan bidan
melaksanakan pengendalian mutu pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
Definisi Operasional :
1. Ada program peningkatan mutu
pendidikan, pelatihan dan pengembangan.
2. Ada penilaian mutu proses pendidikan,
pelatihan dan pengembangan.
3. Ada penilaian mutu pendidikan,
pelatihan dan pengembangan.
4. Ada umpan balik tentang penilaian
mutu.
5. Ada tindak lanjut dari penilaian mutu.
C. Competency Measurement
(Penilaian Kompetensi)
Competency
measurement menurut ICM (International Confederation Midwives) bahwa:
1. Mengakui dan mengharuskan
kompetensi untuk praktek kebidanan, berdasarkan pada ICM Essential
Competencies for Basic Midwifery Practice (2010), didefinisikan secara
lokal, sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan area dunia di mana bidan
berlatih.
2.
Mendukung dan membutuhkan bahwa kompetensi penting untuk praktik
kebidanan termasuk dalam desain dan implementasi kurikulum kebidanan.
3. Mengamanatkan bahwa
kurikulum memberikan kesempatan bagi semua peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan perilaku professional untuk memungkinkan bidan
dapat berlatih dalam melaksanakan perannya sesuai kesepakatan dalam ICM Definition
of the
Midwife (2011) (International Confederation Midwives, 2014).
Midwife (2011) (International Confederation Midwives, 2014).
Pada
panduan Policy DirectiveClinical Governance for Midwifery Models of Care
Bidan membutuhkan bukti kompetensi kebidanan di:
1. Perbaikan perineum dan
pemeriksaan spekulum,
2.
Kanulasi IV dan venipuncture,
3.
Resusitasi neonatal,
4.
Resusitasi maternal,
5.
Pengelolaan distosia bahu, postpartumS/pendarahan antepartum, pra
eklampsia /eklampsia, prolaps tali pusat dan presentasi sungsang tidak
terdiagnosis.
6.
Pemantauan janin intrapartum termasuk indikasi untuk penggunaan
dan interpretasi cardiotcograph yang (CTG)
Area tambahan kompetensi dapat diperoleh oleh
bidan sebagai identifikasi dan dinegosiasikan secara lokal. Kerangka kerja
untuk bidan yang bekerja di model kebidanan dikelola oleh keperawatan (Queensland Government, 2008).
Di Indonesia keberhasilan
seorang bidan dalam melaksanakan pendidikan, pembelajaran dan asuhan
tidak terlepas dari kompetensi yang dimilikinya. Betapa pun tinggi semangat dan
motivasi yang dimiliki oleh bidan maka kinerja bidan tidak dapat maksimal jika
tidak dibarengi dengan penguasaan kompetensi profesional yang dipersyaratkan.
Kompetensi profesional bidan mencakup sembilan standar kompetensi yang di
mana sudah harus dimiliki semua bidan.
Kompetensi
adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melakukan tugas di
bidang tertentu. Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan bidan yang diakui oleh negara dan memperoleh kualifikasi dan diberi
izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negara itu.
Kompetensi
bidan adalah kemampuan bidan untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yg dilandasi oleh pengetahuan,
ketrampilan dan sikap kerja. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor; 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, salah
satu komponen didalamnya berisi mengenai standar kompetensi bidan di Indonesia,
sebagai acuan untuk melakukan asuhan kebidanan kepada individu, keluarga dan
masyarakat.
Kompetensi ke 1:
Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan
keterampilan dari ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk
dasar dari asuhan yang bermutu tinggi, sesuai dengan budaya untuk wanita, bayi
baru lahir dan keluarganya.
Maksudnya ialah jadi setiap bidan
selain mempunyai kompetensi dan keterampilan berbasis kedokteran bidan juga
harus mempunyai ilmu sosial dan etik yang bermutu sesuai dengan kebudayaan
masyarakat, misalnya mempunyai dan dapat menyampaikan pengetahuan kepada
masyarakat tentang manfaat dan kerugian praktik kesehatan tradisional dan
modern.
Kompetensi ke 2:
Bidan memberikan asuahan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan yang
tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh di masyarakat dalam rangka
untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan
kesiapan menjadi orang tua.
Maksudnya ialah jadi seorang bidan
selain harus bisa memberikan asuhan kesehatan yang benar seperti memberikan
konseling pada saat kehamilan kepada pasangan calon orang tua tetapi seorang
bidan juga harus mampu menempatkan diri tentang bagaimana menanggapi perbedaan
kebudayaan di setiap lapisan masyarakat.
Kompetensi
ke 3:
Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan
kesehatan selama kehamilan yang meliputi deteksi dini, pengobatan atau rujukan.
Maksudnya disini ialah Bidan harus
memberikan asuhan kehamilan yang baik dan benar untuk memaksimlkan kesehatan
selama kehamilan diantaranya adalah memeriksa tanda,gejala dan indikasi rujukan
pada komplikasi tertentu dalam kehamilan.
Kompetensi
ke 4:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap kebudayaan
setempat selama persalinan, memimpin suatu persalinan yang bersih dan aman,
menangani situasi kegawat daruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan
wanita dan bayinya yang baru lahir.
Maksudnya ialah seorang bidan harus
menguasai budaya-budaya mengenai pesalinan yang ada di masing-masing daerah
yang akan digelutinya. Berbasis persalinan yang baik dan benar, yang dapat
menangani segala kemungkinan kondisi yang akan terjadi mengenai masalah
kesehatan wanita dan bayi yang baru lahir.
Kompetensi
ke 5:
Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi,
tanggap terhadap budaya setempat.
Maksudnya ialah, jadi seorang bidan
harus memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui dengan pelayanan yang baik
dengan memberi pengetahuan mengenai masalah-masalah pada saat menyusui, manfaat
ASI eklusif dan melakukan konseling tentang seksualitas dan KB pascapersalianan
dengan menyesuaikan terhadap budaya masyarakat setempat.
Kompetensi
ke 6:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprenshensif pada bayi baru
lahir sehat, sampai dengan umur 1 bulan.
Maksudnya ialah bidan harus teliti
cermat dan berhati- hati dalam menangani bayi yang bau lahir sampai dengan umur
1 bulan seperti membersihkan badan bayi baru lahir dan melakukan pemeriksaan
fisik pada bayi baru lahir.
Kompetensi
ke 7:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprehensif pada bayi dan
balita sehat (1 bln - 5 thn).
Maksudnya
ialah bidan tidak hanya menangani dan memberi asuhan kepada bayi yang baru
lahir tetapi juga terhadap bayi dan balita seperti dalam hal menangani panyakit
atau kelainan pada saat masa pertumbuhan bayi dan anak.
Kompetensi
ke 8:
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprehensif pada keluarga,
kelompok dan masyarakat sesuai budaya setempat.
Maksudnya ialah bidan juga
memberikan asuhan kesehatan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat
berdasarkan kebudayaan yang ada di daerah setempat dengan cara memberi
penyuluhan kepada suatu kelompok atau masyarakat setempat.
Kompetensi
ke 9:
Bidan melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan
reproduksi.
Maksudnya ialah bidan harus
mengetahui dan memahami masalah - masalah tentang asuhan kebidanan yang
berkaitan dengan gangguan reproduksi contohnya terhadap pasien dengan penyakit
keputihan yang parah.
D. Collaborative Care (Perawatan
Kolaborasi)
Kolaborasi
Interprofessional memastikan klien menjadi pusat perhatian dalam memberikan
asuhan. Klien mendapat apa yang Dia butuhkan dari sistem perawatan kesehatan -
perawatan yang tepat pada waktu yang tepat dari penyedia yang tepat. Bidan
berkolaborasi dengan rekan perawatan kesehatan tentang perawatan klien
individu, kebijakan masyarakat dan rumah sakit, dan strategi tingkat provinsi
dan perencanaan (Ontario Midwifery,
2014).
Bidan
dapat berkonsultasi dengan berbagai spesialis dalam merawat ibu dan bayi, atau
bidan dapat menyediakan semua perawatan primer yang dibutuhkan untuk ibu dan
bayi, dari konsepsi sampai enam minggu setelah melahirkan (Ontario Midwifery, 2014).
Selain
itu, bidan dapat berkolaborasi dengan tenaga profesional kesehatan lainnya
tergantung pada kebutuhan klien. Ini mungkin termasuk apoteker, perawat
kesehatan masyarakat, pekerja sosial, ahli gizi, dan konsultan laktasi.
Asosiasi Rumah Sakit Ontario mendukung integrasi bidan dalam pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit Ontario, dan mengakui kebidanan sebagai sarana yang
dapat diandalkan dan efektif memberikan pelayanan berkualitas bagi ibu dan bayi
baru lahir (Ontario Midwifery, 2014).
Model
kebidanan kolaboratif adalah kolaborasi yanga melibatkan dialog dan hubungan
dengan anggota lain dari tim ibu-bayi yang baru lahir yang sedang berlangsung.
Sangat penting bahwa berbagai penyedia layanan kesehatan bekerja sama untuk
memberikan kualitas terbaik dari perawatan
dalam setiap pengaturan perawatan kesehatan (Ontario Midwifery, 2014).
dalam setiap pengaturan perawatan kesehatan (Ontario Midwifery, 2014).
Integrasi
perawatan kesehatan fisik dan mental merupakan aspek penting dari rumah
perawatan kesehatan. Program perawatan kolaboratif adalah
salah satu pendekatan integrasi di mana penyedia perawatan primer,
manajer perawatan, dan konsultan kejiwaan bekerja sama untuk memberikan
perawatan dan memantau kemajuan pasien. Program-program ini telah
terbukti baik secara klinis efektif dan hemat biaya untuk berbagai kondisi
kesehatan mental, dalam berbagai pengaturan, menggunakan beberapa
mekanisme pembayaran yang berbeda (Unutzer, 2013)
salah satu pendekatan integrasi di mana penyedia perawatan primer,
manajer perawatan, dan konsultan kejiwaan bekerja sama untuk memberikan
perawatan dan memantau kemajuan pasien. Program-program ini telah
terbukti baik secara klinis efektif dan hemat biaya untuk berbagai kondisi
kesehatan mental, dalam berbagai pengaturan, menggunakan beberapa
mekanisme pembayaran yang berbeda (Unutzer, 2013)
Pelayanan
kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang dapat dilakukan secara
mandiri, kolaborasi atau rujukan. Pelayanan Kebidanan merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan, yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga,
sesuai dengan kewenangan dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan
sejahtera. Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga, dan
masyarakat yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan
pemulihan pelayanan kebidanan dapat dibedakan menjadi:
1. Layanan primer ialah layanan bidan
yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.
2. Layanan kolaborasi adalah layanan yang
dilakukan oleh bidan sebagai anggota timyang kegiatannya dilakukan secara
bersamaan atau sebagai salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan
kesehatan.
3. Layanan rujukan adalah layanan yang
dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke system layanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam menerima
rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh
bidan ke tempat/ fasilitas pelayanan kesehatan lain secara horizontal maupun
vertical atau meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu serta bayinya
(Kemenkes RI, 2007).
Peran merupakan tingkah laku yang digarapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam suatu system. Dalam
melaksanakan profesinya, bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola,
pendidik, dan peneliti. Sebagai pelaksana bidan mempunyai 3 kategori tugas
yakni mandiri, kolaborasi, dan ketergantungan/merujuk. Berikut dijelaskan tugas
pokok bidan dalam memberikan asuhan kolaborasi:
1. Menerapkan manajemen kebidanan pada
setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan
keluarga, mencakup:
a.
Mengkaji
masalah yang berkaitan dengan komplikasi dan kondisi kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi.
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
c.
Merencanakan
tindakan sesuai dengan rencana dan melibatkan klien
d.
Membuat
pencatatan dan pelaporan.
2. Memberi asuhan kebidanan pada ibu
hamil dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi, mencakup:
a.
Mengkaji
kebutuhan asuhan pada kasus risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan
kegawatdaruratan pada kasus risiko tinggi.
c.
Menyususn
rencana asuhan dan tindakan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.
Melaksanakan
asuhan kebidanan pada kasus ibu hamil dengan risiko tinggi dan memberikan
pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.
Mengevaluasi
hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.
Menyususn
rencana tindak lanjut bersama klien.
g.
Membuat
pencatatan dan pelaporan.
3. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu
dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatan yang
memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan
klien dan keluarga, mencakup:
a.
Mengkaji
kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi
dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan
kegawatdaruratan
c.
Menyususn
rencana asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi
dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.
Melaksanakan
asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan
memberikan pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.
Mengevaluasi
hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.
Menyususn
rencana tindak lanjut bersama klien.
g.
Membuat
pencatatan dan pelaporan.
4. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu
dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama dalam
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan klien dan
keluarga, mencakup:
a.
Mengkaji
kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan
kegawatdaruratan.
c.
Menyususn
rencana asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan
memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.
Melaksanakan
asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan memberikan
pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.
Mengevaluasi
hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.
Menyususn
rencana tindak lanjut bersama klien.
g.
Membuat
pencatatan dan pelaporan.
5. Memberikan asuhan pada BBL dengan
risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang
memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan meliatkan
klien dan keluarga, mencakup:
a.
Mengkaji
kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan
kegawatdaruratan.
c.
Menyususn
rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberi
pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.
Melaksanakan
asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberikan
pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.
Mengevaluasi
hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.
Menyususn
rencana tindak lanjut bersama klien.
g.
Membuat
pencatatan dan pelaporan.
6. Memberikan asuhan kebidanan pada
balita dengan risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta
kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan melibatkan
keluarga, mencakup:
a.
Mengkaji
kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b.
Menentukan
diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko, serta keadaan
kegawatdaruratan.
c.
Menyususn
rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberi
pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d.
Melaksanakan
asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memberikan
pertolongan pertama sesuai prioritas.
e.
Mengevaluasi
hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f.
Menyususn
rencana tindak lanjut bersama klien.
g.
Membuat
pencatatan dan pelaporan (Kemenkes RI 2007).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan kematian ibu dan bayi baru
lahir di Indonesia memang tidak mudah untuk diurai, akan tetapi melalui pendekatan
strategic leadership dan learning organization yang inovatif
seperti kebijakan program tata kelola klinik model kebidanan maka kualitas pelayanan
kesehatan yang tercermin dari masih belum tercapainya penurunan angka kematian
maternal dan neonatal yang bermakna dapat berubah. Kinerja kualitas pelayanan ditentukan
oleh banyak faktor seperti sarana prasarana, dan kebijakan yang berpihak. Fakta
bahwa tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas saat ini akan sangat terbantu
dengan berfungsinya sistem pelayanan emergensi maternal dan neonatal melalui berjalannya
tata kelola klinik yang baik mulai dari tingkat fasilitas kesehatan hingga di
tingkat Dinas Kesehatan di wilayah.
B. Saran
1.
Diharapkan
pendampingan klinis seharusnya merupakan bagian dari pengembangan pendidikan
tenaga kesehatan profesional yang menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten.
2.
Sebaikanya
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang diberikan berdasarkan standar
profesi pada kasus maternal-neonatal yang mengalami penyulit dan memerlukan
penanganan adekuat dari tingkat pelayanan terendah sampai tertinggi secara
berkolaborasi, yang berorientasi bagi keselamatan ibu dan bayi baru lahir serta
keluarganya.
3.
Lebih
dari sekedar sekumpulan individu, Tim adalah sekelompok orang yang bekerja
dalam satu saling ketergantungan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Pelayanan
berkualitas adalah serangkaian kegiatan yang sangat kompleks, membutuhkan
kolaborasi di antara banyak individu yang memiliki berbagai pengetahuan dan
ketrampilan. Oleh karena itu melakukan pendekatan tim dalam upaya-upaya
peningkatan kualitas pelayanan sebagai suatu kinerja kolektif juga merupakan
hal penting untuk membuat sebuah fasilitas kesehatan siap dan mau memberikan
pelayanan emergensi yang berkualitas.